Defia Rosmaniar 🥋
Aku tak menyangka sudah sekian hari tanpa Hanif dan rasanya biasa saja. Semacam hari biasa tanpa suami, maksudku masih single. Hanif tak pernah menghubungiku bahkan aku pun tak pernah menghubunginya. Banyak orang mengabarkan Hanif sedang bermain di Arema, menjadi starting line up atau apalah itu tapi aku sama sekali tidak peduli berapa hasilnya, bagaimana dia bermain, toh dia juga tidak peduli dengan bagaimana Training Center-ku. Jika peduli maka aku balas dengan peduli. Jika di dekat masih mungkin aku pedulikan, jika di jauh toh tidak ada yang peduli mau aku memperhatikan suami atau tidak, Hanif pun tak pernah protes tentang itu.
Ini hari Senin, aku dengar beberapa pegawai negeri melaksanakan upacara pagi ini, bahkan aku yang sudah mendapat tawaran PNS pun serasa ikut upacara meski hanya melihatnya dari jalanan.
"Ntar kita beneran ke rumah Pak Imam?" Tanya Rachmania yang berjalan di sampingku.
Mengangguk.
"Lo dijemput suami lo?"
Mengangkat kedua bahu yang artinya tidak tahu.
"Lah gimana?"
"Dia kan di Malang, nggak memungkinkan kalau dia harus ke sini dulu. Lagi pula belum tentu dia datang," kataku dengan santainya.
Pikirku memang dia tak akan datang, Malang-Jakarta, tentu biayanya tidak sedikit. Sangat terasa apalagi di saat dollar tengah mencekik rupiah semacam ini.
"Ya masa' nggak datang? Kan ini acara buat kalian."
Memang Pak Imam mengadakan makan malam ini karena beliau telah bernazar atas pernikahanku dengan Hanif. Sebenarnya masih tidak enak, jadi kesannya kami yang menikah Pak Imam yang merayakan, padahal kami sendiri pun merasa tidak ada yang begitu membahagiakan.
"Nggak tahu lah. Nggak penting juga."
Rachmania menghela napas panjang.
"Ya gitulah kalau musuhan kena karma, jadi nggak ada romantis-romantisnya," celetuk Mutiara sambil memainkan ponselnya.
"Ah, mumpung gue inget, malam pertama lo juga nggak romantis?"
Menghentikan langkahku. Malam pertama macam apa? Kita saja tidur terpisah, ah itu pun tak perlu diceritakan. Aku pun harus mulai berubah untuk tidak lagi mudah membicarakan masalah-masalah hidupku ke orang lain, karena sekarang bukan hanya lagi tentang aku, tapi juga Hanif.
"Kembali aja ke Wisma Atlet lah, capek gue," kataku mengalihkan pembicaraan.
"Lah belum dijawab juga!"
Kling...
Baru juga berjalan, ponselku sudah berdering, setelah aku lihat itu telepon dari Mama.
"Iya, Ma?" Setelah saling mengucapkan salam.
"Teteh lagi di mana? Mama lagi di Kemayoran ini sama Hisyam, libur nggak?"
Hari ini memang tak ada latihan, atlet taekwondo diliburkan, boleh jalan-jalan sesukanya asal ada keterangan yang jelas, dan besok siang sudah harus berkumpul di Wisma Atlet lagi. Jadi boleh kembali ke Wisma Atlet boleh juga menginap di tempat lain, bisa dibilang ini pesiarnya para atlet taekwondo dan kebetulan karena nanti malam ada acara di tempatnya Pak Imam.
"Teteh masih di sekitar Wisma Atlet, Ma. Enggak ada latihan sih."
Rachmania dan Mutiara memandangku.
"Ya sudah, Mama ke Wisma Atlet ya? Kita jalan-jalan sebentar, Teh. Pengen ngajak Teteh shopping."
Sekarang apa yang diminta Mama mertua tidak akan bisa aku tolak, beliau juga Ibuku yang harus aku hormati seperti Ibu kandungku sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
Hayran KurguDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...