Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Mataku terbuka tepat ketika adzan pertama, aku tangan kananku rasanya pegal sekali. Telisik punya telisik, pegal itu terjadi karena kepala Defia berapa di telapak tanganku entah dari jam berapa, sepertinya semalam ketika mulai terlelap kami hanya saling memandang lekat tanpa melakukan apapun selain itu. Apakah keajaiban malam mulai terjadi setelah semua taktik yang kami jalankan berdua?
Jujur, menenangkan memandang Defia cukup lekat ketika dia tertidur. Terlihat damai dan tenang, bukan seperti biasanya yang banyak kebohongan dan naik pitam. Waktu tidur adalah waktu terjujur yang dimiliki oleh manusia. Tak pernah ada yang berbohong ketika mata ini terlelap dan Tuhan membawa akal kita di bawah alam sadar. Yang ngorok juga nggak akan jaga image ketika tidur, yang suka tidur dengan mulut terbuka pun nggak akan berpikir bagaimana caranya menutup mulutnya. Apalagi yang biasa bermuka dua, sudah pasti salah satu mukanya saja yang dia tampilkan. Mungkin jika semua orang jatuh cinta ketika tidur, tak ada yang merasa terbohongi terlalu banyak.
"Engggh," lenguh Defia dengan kepalanya yang sedikit bergerak.
Tak sadar aku tersenyum, bagaimana dia terlihat begitu manis ketika tidur? Ah, apa pula yang aku pikirkan. Beberapa hari ini taktikku sudah membuatnya tersentuh, jadi aku pun harus tetap menjalankannya tanpa pernah goyah dengan taktik yang aku buat sendiri. Biar Defia dulu yang jatuh cinta, mungkin ketika menikmati liburan di Bali aku bisa jatuh cinta dengannya.
Tangan Defia yang tadinya ada di perutnya sendiri tiba-tiba saja berpindah ke bagian atas pinggangku, mengalung nyaman seolah memelukku, sementara kepalanya berpindah sedikit ke cepat, arah ke lenganku. Saking dekatnya, aku bahkan bisa mencium jelas wangi rambutnya. Ini pertama kali juga setelah yang lalu aku tidak pernah melihatnya melepas jilbab di depanku.
Ada detak tak wajar lagi di sana, detak yang semakin kencang ketika Defia mendekat. Sungguh aku tak ingin kalah lebih dulu balam kesepakatan ini, sekedar ke Bali, tapi provinsi itu seringkali aku rindukan. Tentang bagaimana aku sering melakukan TC di Bali bersama sahabat-sahabatku, tentang banyak kenangan sebelum membela negara di sana. Itu yang selalu membuatku ingin kembali.
Ah, ini detak apa pula, subuh-subuh begini, membuat Malang yang dingin menjadi sangat panas. Malang yang menenangkan membuat seisi dada dikoyak tak beraturan. Tidak tahan rasanya semacam ini, bahkan dapat aku rasakan setiap napas Defia menghembus, merasuk membawa semilir tenang namun menggetarkan. Muncullah ide untuk membuatnya cepat bangun dan tidak dalam posisi ini.
"Teh, bangun, Teh, kita ketinggalan pesawat!" Pekikku di adzan pertama telah selesai.
"Hemmm?" Masih dengan nada malasnya.
"Kita ketinggalan pesawat!" Pekikku lagi semakin bernada panik padahal menahan tawa setengah mati.
"Astaghfirullah!" Lonjak Defia langsung berdiri dari tempatnya. "Seriusan? Astaga, A, kenapa bisa kesiangan?" katanya sambil mencari ponselnya di atas meja kecil.
"Ha ha ha." Aku justru tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak? Wajahnya panik sekali, sudah begitu masih muka bantal sekali, belum lagi dia langsung melonjak begitu saja semacam orang kesetanan.
Defia langsung merubah mimiknya, yang tadinya panik menjadi amarah yang membumbung. Dia memicingkan mata seperti ingin mempersiapkan kuda-kudanya. Ah, dulu pernah kubilang nggak mau punya pacar atlet bela diri, sekarang kena karmanya, malah lebih parah. Istriku atlet beladiri, macam-macam bisa dibunuh hari ini juga. Sayangnya, aku pun sekarang malah tidak merasa takut, masih bisa jahil juga, dan jahilnya memang menyenangkan.
"Ha ha ha. Jam berapa coba, Teh?" Menunjuk ponsel dalam genggamannya.
"Usil banget sih, A! Orang lagi tidur!" Bentaknya setelah melihat layar ponselnya. Bibirnya beberapa sentimeter maju ke depan, kedua alisnya hampir menyatu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanfictionDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...