73. Kehangatan Bandung

5.3K 642 38
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Defia tidur di bahu kiriku dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta, kami memutuskan tidak naik kereta untuk pulang. Mengingat sudah sangat lelahnya kami dan ingin segera beristirahat. Walaupun sebenarnya istirahat itu ya di Jogja, di Jakarta terlalu bising oleh orang-orang sibuk. Tapi ya setidaknya merebahkan diri, menikmati lagi tempat kita yang sebenarnya, Jogja kan hanya romansa.

Aku tidak bilang Mama, Hisyam dan Haykal kalau hari ini kami kembali dari Jogja. Biar jadi kejutan saja kalau kita kembali secara mendadak. Padahal kemarin Hisyam menghubungiku kapan bisa kembali biar bisa berkunjung ke Bandung, ke rumah Aki dan Nini. Kudengar mereka menanyakan aku dan Defia.

"Sayang, udah landing," ucapku membangunkannya.

Defia terbangun dengan mata sipitnya, langsung berdiri tanpa aku minta dua kali.

Sialnya hari ini, begitu kami sampai di rumah, rumah terkunci rapat, baik Mama, Hisyam maupun Haykal yang kabarnya pulang selama 2 hari tidak bisa dihubungi. Sama sekali tidak ada yang bisa dihubungi.

"Aa nggak bilang sama Mama kalau mau pulang hari ini?" Tanya Defia.

Menggeleng.

Defia menghela napas panjangnya. "Kita pulang ke Bogor aja atau nunggu di sini?"

Berpikir sejenak, kenapa tak langsung aku ajak Defia bertemu dengan Aki dan Nini saja, nanti aku bisa bilang Mama kalau kami langsung ke Bandung. Tidak perlu menunggu Mama dan yang lain, biar mereka menyusul sendiri saja.

"Kita ke rumah Aki sama Nini aja ya, Teh?"

Mengangguk.

Jika dalam perjalanan Yogyakarta-Tangerang Defia yang tertidur, kali ini giliranku tertidur di bahunya. Mungkin sampai sopir taksinya bosan melihat kami dari kaca spion.

Sampai di Bandung, ternyata Mama, Hisyam dan Haykal ada di sini, itu kata Aki dan Nini. Mereka tengah pergi berbelanja untuk agenda malam nanti. Aku juga tidak tahu agenda apa tapi katanya acara keluarga saja.

"Istri kamu makin cantik saja," puji Nini mengusap pipi kanan Defia.

"Iyalah, istri Aa kalau jelek ya nggak mungkin," sahutku membuat Defia memukul lenganku kecil.

"Katanya kalian habis bulan madu ya?" Tanya Aki mengajak kami semua duduk di ruang keluarga.

"Iya, Ki. Eh, tadi Teteh bawa oleh-oleh, bakpia Jogja," mengambil goodie bag-nya.

"Ah, mana? Banyak atau sedikit, kalau sedikit Aki ndak mau."

Defia terkekeh. "Banyak, Aki. Teteh mah tahu, Aki sama Nini nyariin Teteh kan? Jadi Teteh bawain oleh-oleh yang banyak, sebagai permintaan maaf baru sempat berkunjung lagi."

Nini tersenyum, mengusap tangan Defia. Beliau seperti sangat sayang sekali. "Iya, Nini nungguin ini, kok cucu Nini ndak ke sini-sini. Kangen."

"A Hanif itu, Ni, di Jogjanya lama," melempar tatapan padaku. Aku tahu itu hanya bercanda, dia bahkan menikmati sekali suasana Jogja, sempat berkaca-kaca ketika harus menulis epilog Jogja kemarin sore.

"Ya ndak apa-apa lama, namanya juga bulan madu, cicit buat Aki sama Nini nggak lama lagi berarti ya?" Ujar Aki memandangku dan Defia bergantian.

Defia yang tertegun langsung memandangku, dia pasti merasa bersalah lagi. Aku sudah tidak ingin membahasnya tapi orang lain tentu tidak tahu menahu tentang keputusan kami. Tidak mungkin juga memberi pengertian satu persatu pada setiap orang yang bertanya kapan kami akan mempunyai momongan.

"Doanya saja, Ki," balasku menyembunyikan apa yang menjadi pilihan kami.

Ujung bibir Defia tertarik, senyum tipisnya menyimpan kegetiran yang cukup dalam.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang