29. Akad Nikah

5.3K 545 157
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Aku tiba di rumah Defia pukul 06.27 WIB, bersamaan dengan datangnya Pak Imam Nahrawi yang benar-benar tepat waktu, sementara teman-temanku justru datang lebih dulu, mereka sangat bersemangat untuk mentertawakan hidupku. Terutama Ricky Fajrin, Bagas, David, Yama dan Febri yang paling berbahagia dan bersemangat. Sebelum tiba di rumah Defia, Mama sempat menyentilku dengan kalimat, "Kalau tak ikhlas, silahkan protes sama Tuhan!" Dan aku tidak bisa melakukannya.

Setelah semalaman merenungi, aku tidak ingin menjadi seseorang yang terus meratap dan memprotes jalan yang Tuhan berikan. Sebagai hamba, kita tidak pernah tahu apa yang terbaik, tapi Tuhan selalu tahu. Kita hanya pelaku sementara Tuhan adalah penentu. Aku tidak ingin terbebani oleh ketidakikhlasan, jadi apapun yang terjadi nanti, aku hanya ingin menjalaninya dengan ikhlas, Tuhan pasti beri jalan terbaiknya untukku.

"Ganteng amat!" Puji Febri sambil tertawa.

"Buset, temen gue udah di depan pelaminan aja nih, tapi satu temen gue masih di depan goa nunggu jodoh," sindir Ricky Fajrin pada David tapi sambil merapikan kerah kemejaku.

"Kampret lo! Lo sendiri juga belum ketemu jodoh kan? Lo boleh pacaran sama pacar lo sekarang, tapi lo nggak akan tahu dia jodoh lo atau elo cuma jagain jodoh orang kek gue!" Balas David membuat Pak Imam Nahrawi menahan tawanya.

Kami memang sementara waktu diminta duduk dan menunggu di depan rumah Defia, sebelum nanti berjalan ke masjid tak jauh dari rumah. Katanya jam 07.00 WIB akan segera berangkat ke masjid.

"Ya setidaknya gue nggak jomblo!"

"Jomblo nggak jomblo bukan jaminan nikah duluan!"

"Ya paling enggak nggak ngenes kaya elo kan? Lo ngegas amat deh!"

"Bodo!"

"Lo kelamaan jomblo nih jadi sensitif, kalau lo mau cepet dapat jodoh, lo kek Hanif tuh berantem terus sama cewek terus tahu-tahu lo berjodoh!"

Aku langsung menempeleng kepala Ricky Fajrin. Dia yang berantem sama David, aku juga yang ujung-ujungnya kena.

"Bener juga, besok gue ke bandara ah!" Seru David.

"Ngapain?" Tanya Febri.

"Gue mau nendang pramugari, gue ajak berantem habis itu gue ajak nikah," jelas David yang otaknya mungkin masih kurang genap.

"Jangan," sahut Bagas. "Gue punya temen, mau nikah sama pramugari tapi gagal."

"Oh iya, jangan deh. Ntar gue udah bilang ke mana-mana tahunya gagal lagi," timpal David yang agaknya tahu ke mana arah sindiran itu.

"Soek kalian berdua!" Yama langsung memukul kepala dua temanku itu dengan botol air mineral kosong.

"Eh, kenapa lo, Capt? Lo merasa? Padahal bukan buat elo sih. Ha ha ha." Bagas malah semakin memperkeruh.

Aku yang duduk di depan bersama dengan Mama dan Pak Imam Nahrawi hanya bisa mendengarkan mereka, sesekali tersenyum. Tapi senyumku pun sebuah keterpaksaan, nyatanya mau dijodohkan atau tidak, tetap saja rasanya deg-degan. Lebih ke bagaimana menjalani pernikahan lucu ini selanjutnya, itu menghantui sekali.

"Kamu gugup ya?" Tanya Pak Imam.

Hanya menjawabnya dengan senyuman saja. Saking tidak bisanya mau menjawab dengan kata.

"Bapak juga gugup sekali," bisik Pak Imam.

Beliau hanya seorang saksi, beliau hanya perlu duduk dan bilang sah, seharusnya aku yang gugup sekali di sini.  Kenapa pula Pak Imam ikut gugup?

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang