44. Petaka Pertama Atau Kesempatan Pertama

6.7K 607 111
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Hari-hari yang lalu, Hanif bersikap cukup hangat padaku, perhatiannya ada. Sesekali aku terus memikirkan itu, disela waktu latihan bahkan seperti sekarang diizinkan pulang selama tiga Minggu sebelum akhirnya TC lagi. Banyak persiapan menuju seleksi olimpiade Tokyo 2020. Perlu mengikuti kejuaraan dunia dulu untuk menentukan siapa yang bisa berangkat dan aku tidak akan menyia-nyiakan itu.

Kemarin sempat disentil Ibunya Rachmania. Bagaimana jika nanti aku justru gagal karena memutuskan menikah sebelum bisa melaju ke olimpiade? Katanya ada kemungkinan aku hamil duluan sebelum itu. Jadi seolah-olah menikah memutuskan segala mimpiku. Ya tapi aku justru tidak tersinggung karena itu, malah ingin tertawa karenanya. Hamil? Bahkan kami tak ada cinta sekalipun jadi bagaimana bisa hamil semudah itu? Kami masih butuh proses panjang, mungkin juga sampai 2020 baru kami akan jatuh cinta. Ah tapi tidak tahu juga kalau sebelum itu.

"Def, buku lo ketinggalan ntar. Ngakak gue sekarang lo tiap hari bacanya buku tentang pernikahan, jadi istri yang sholeha lah, rumah tangga islami lah. Tapi gue seneng sih, rumah tangga lo nggak bakalan berujung ke pengadilan jika sudah begini kan," tegur Mutiara Habiba.

Aku menganggk-angguk dan tersenyum saja, mengambil buku itu agar tidak ketinggalan. Lumayan belinya pakai uang bukan pakai daun, apalagi ilmu yang ada di dalamnya, membuat hatiku bisa sedikit lebih tenang.

"Lo pulang ke rumah suami apa ke Bogor?"  Tanyanya lagi.

"Ke rumah mertua dulu, diminta ke sana katanya kesepian di rumah," jawabku.

Mama memang menelponku tadi pagi, beliau tahu aku selesai TC hari ini, TC akan dimulai lagi bulan depan, menjelang tahun baru. Mama lebih tahu jadwalku daripada Hanif, sejak bertemu terakhir kali di toko buku, sejak aku menjabat dan mencium tangannya di depan wisma atlet, sejak itu kami belum pernah berkomunikasi. Aku bahkan tahu Hanif kemana lewat akun-akun Instagram tentang sepakbola. Setelah dari Banjarmasin, aku tahu dia ke Malang untuk melakoni laga dengan klub Bali. Selain itu, Mama juga sering bercerita tentang kegiatan Hanif.

Asli, kami sama sekali tidak pernah saling menghubungi sejak terakhir bertemu. Sekedar menyapa saja tidak, bahkan aku tahu Hanif membuat story di WhatsAppnya tapi hanya aku lihat tanpa peduli. Hanif pun begitu padaku, dia hanya melihat storyku tanpa membalas apapun. Entahlah kami ini pasangan apa.

Setelah saling berpamitan, aku langsung menuju rumah Mama, dengan koper yang cukup besar. Keputusan awal TC memang jangka panjang tapi mengingat banyak administrasi yang harus diurus para atlet taekwondo sebelum menuju ke kualifikasi olimpiade Tokyo 2020, jadi ada 3 Minggu waktu untuk menyelesaikan itu. Maka TC dibiarkan beberapa Minggu saja dan akan dilanjutkan bulan depan.

Mama menyambutku dengan hangat seperti biasanya, hanya ada Hisyam karena Haykal tidak libur, dia masih di pesantren. Untuk itu Mama selalu memintaku menemui beliau karena merasa tak banyak teman di rumah.

"Eh Teteh, mau ikut ke Malang nggak, Teh?" Tanya Hisyam begitu aku meletakkan koperku di dekat pintu kamar Hanif. Dia datang dengan ponsel besarnya, layar yang menyala, sepertinya beli tiket kereta online.

"Kapan?" Tanyaku hampir membuka pintu kamar Hanif. 

"Harus ikut dong, Cam. Udah ih pesenin tiga sekalian," seru Mama sambil menyalakan televisi di depan kamar Hanif.

"Oke, Ma."

Menghela napas. Mengikut sajalah, lagi pula untuk urusan administrasi semuanya sudah diurus kakakku. Aku tinggal tenang saja katanya ngurus suami. Apa pula yang mau diurus?

Membuka pintu kamar dan cukup terkejut dengan kamar yang penuh dengan bola, semuanya serba bola. Dan ini menjadi pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar Hanif. Sangat rapi, banyak buku, ada Al Qur'an di atas meja, ada foto-foto, meskipun sayangnya tidak ada foto pernikahan kami, kecuali yang terpampang besar di ruang tamu. Kalau itu sih aku yakin hasil kerjaan Mama.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang