42. Diksi-diksi Bagas Menghantui

5.5K 610 63
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Mataku memang terpejam malam ini, tapi tidak terlelap, aku masih dengar suara gerakan yang Hanif timbulkan. Dia yang sesekali berpindah dari tempatnya hingga duduk di sofa yang tak jauh dari tempatku terbaring. Sesekali suara ponselnya cukup menganggu, aku yakin itu suara ponselnya sebab ponselku mati di sebelah televisi.

Malam ini cukup menyakitkan, perkataan Bagas Adi Nugroho, sahabat Hanif itu telah menusuk bagian terbawah dari hatiku. Bukan aku tidak suka, tapi seperti sedang ditusuk atas kesalahanku sendiri. Dia benar, aku harus mulai berperan seperti istri pada umumnya, tapi kalian perlu tahu, melakukan semua itu tanpa cinta bahkan pada musuhmu sendiri itu sulit sekali.

Di sini peranku seperti perempuan bodoh yang tidak becus menjadi istri padahal aku tahu bagaimana peran istri yang sebenarnya dalam agamaku. Dan bagian itu adalah bagian yang paling tidak aku sukai, sebab apa? Sebab kebencianku pada diriku sendiri yang tidak bisa dengan mudah menerima takdir, tidak bisa dengan mudah bersikap lembut, selalu saja ingin marah ketika melihat Hanif, tak bisakah memandangnya sama seperti memandang Wahyu, Bagas, Bang Owi ataupun yang lainnya.

Aku tidak tahu kapan mataku benar-benar terlelap tapi ketika aku bangun, aku mendapati Hanif masih terjaga di tempatnya, dia masih memandangiku tanpa berkedip, aku yakin ada banyak hal yang dia pikirkan sama sepertiku yang baru saja bermimpi dihakimi masa karena tidak becus menjadi istri, terlebih Bagas yang paling ngotot menyalahkan aku, sampai akhirnya aku terbangun kali ini.

"Tidur lagi, masih jam 2, ntar gue bangunin," kata Hanif beranjak dari tempatnya menuju ke balkon. Lagi-lagi hanya balkon yang menjadi pelariannya. Aku yakin dia juga memikirkan apa kata Bagas.

Hanya diam dan memperhatikannya, banyak hal telah dia pikirkan, sama seperti pikiranku. Lantas kenapa tidak kita bicarakan saja? Tapi apa yang mau dibicarakan? Bukankah kami harus sama-sama mengubah sikap. Itu saja.

"Lo nggak tidur?" Tanyaku berusaha mendekat.

Sesekali mengangkat celana Hanif yang terlalu panjang di kakiku. Aku cukup tersentuh dengan itu, dia meminjamkan bajunya untukku karena aku tidak bawa baju ganti selain yang aku pakai tadi siang.

"Ntar gue juga tidur kalau ngantuk. Lo duluan aja," katanya tidak melihatku. "Lo masih harus TC besok, gue kan masih ada satu hari buat istirahat, jadi duluan aja."

Aku menatapnya, dia tidak begitu buruk sebenarnya.

Cukup lama kami hanya saling memandangi langit kota Jakarta, saling pula menghela napas seolah bosan dengan masalah pelik antara kami, bosan pula dengan kebencian yang selalu menjadi warna gelap dalam hidup kami.

"Tidur!" Perintah Hanif masih menyeretku masuk ke dalam, memintaku untuk tidur lantas dia pun tidur di sebelahku.

Aku tidak tahu dia benar-benar tidur atau hanya terjaga sepanjang malam, yang jelas ini sudah pukul 02.56 WIB dan sangat terlambat untuk tidur. Tidak lama adzan pasti berkumandang.

Memang benar, saat aku masih terjaga, berbaring saling membelakangi dengan Hanif, tak lama dari itu adzan subuh berkumandang, memanggil umat manusia untuk berdiskusi dengan Tuhannya.

"Bawa mukena kan?" Tanya Hanif begitu adzan selesai, dengan itu aku tahu dia tidak benar-benar tidur.

"Gue lagi nggak sholat," jawabku tetap berbaring di tempatku.

"Oh."

Kulihat Hanif berjalan ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan rambutnya yang basah itu menambah kesan bahwa dia tidak seburuk itu. Ada sisi religius di dalam diri Hanif dan itu bekal baik untuk menjadi suami yang baik. Lantas bagaimana denganku?

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang