Defia Rosmaniar 🥋
Subuh ini Hanif membangunkanku, katanya meski tidak bisa melihat matahari terbit, kita bisa menikmati pantai selagi sepi. Jadi setelah sholat subuh kami hanya sekedar duduk di pantai, berdua, menanti sinar lembut matahari menyapa kami. Kami duduk dengan posisi aku di antara kaki Hanif, berada di tengahnya, menyandarkan kepala di bahu sebelah kanannya dan dia menaruh dagunya di bahu kiriku. Tangannya melingkar di depan tubuhku, di atas lututnya sendiri.
Aku tersenyum melihat perbedaan warna kulit kami yang cukup mencolok, kenapa baru sadar? Mungkin karena setiap malam selalu gelap, setiap siang selalu sibuk sampai lupa memperhatikan perbedaan di antara kami.
"Kopi susu," kataku menunjuk tangan kiri Hanif dan tangan kiriku.
"Iya mentang-mentang putih," balasnya malah melingkarkan tangannya di perutku.
"Semoga anak kita nanti kulitnya dari Teteh, Aa iuran hidungnya aja."
Hanif tertawa. "Iya, iya, iya. Terluka hati Aa."
Aku terkekeh saja.
Kami kembali menikmati debur ombak yang kian terlihat, beberapa warung makan yang mulai bersiap, satu penghuni penginapan lain yang mulai keluar dari tempatnya. Sementara aku tetap dalam posisi yang sama, di tepi pantai menikmati sinar mentari yang mulai menyapa.
"Indah ya, A, pantai dan laut itu. Teteh suka," kataku kembali menyenderkan kepalaku ke belakang, di bahunya.
"Sangat, tapi kalau laut murka, apapun dia terjang meski pemuja keindahannya sekalipun."
Mengangguk. Mengingat Palu, Sigi dan Donggala yang digoncang begitu dahsyatnya lantas disapu oleh air laut dan rata semuanya. Kuasa Allah SWT atas manusianya yang kerdil itu luar biasa.
"A, balik yuk," ajakku karena meresa tidak enak sama sekali.
"Nanti saja," kata Hanif malah semakin melingkarkan tangannya di perutku.
"Teteh pengen mandi."
"Tadi kan sudah."
"Pengen mandi lagi."
"Padahal airnya asin gitu malah doyan banget mandi."
Aku langsung berdiri dan menarik tangan Hanif untuk segera kembali. Benar-benar firasatku tidak baik, pengen mandi saja. Padahal benar-benar tidak enak di kulit mandi di area pantai itu. Airnya sedikit asin. Tadi untuk keramas saja malah bikin rambut sedikit lepek. Tapi apalah daya, pengen mandi lagi dan lagi.
Sampai di penginapan, ketika Hanif sibuk berbincang dari luar kamar mandi, bertanya mau sarapan apa, kabar sedikit buruk hadir menyapaku. Aku lupa membawa barang privat perempuan tapi sekarang aku membutuhkannya. Aku pikir beli saja di Jogja, banyak minimarket. Lah kalau di pantai semacam ini ada atau tidak. Tapi aku juga tidak mungkin keluar dalam keadaan semacam ini.
"A," membuka pintu, mengeluarkan kepalaku saja. Sepertinya aku harus mempermalukan Hanif pagi ini, terpaksa.
"Kenapa, Teh?" Sambil menahan tawa karena posisiku. Tetap saja malu meski dia suamiku.
"Teteh PMS," ucapku lirih.
Hanif mendekat. "Apa?"
"Teteh PMS."
Wajahnya langsung datar. "Kok pas di Jogja sih?"
Aku melempar bungkus sabun ke arahnya. "Bukan itu masalahnya, A. Beliin itu dong, Teteh nggak bawa ke sini," rengekku memasang wajah perlu dikasihani.
"Hah?"
"Ayolah, A."
"Ya masa' Aa yang beli? Apa kata orang, Teteh?"
![](https://img.wattpad.com/cover/163045872-288-k941795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanficDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...