27. Sahabat dan Calon Istri

4.8K 511 86
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Aku kembali ke kamar setelah menemui Defia di tangga darurat. Itu atas saran kedua temanku, Zulfiandi dan Yama. Mereka menceramahiku habis-habisan setelah Bagas pun menasehatiku. Mereka banyak membuka pikiranku tentang pernikahan, meski sejujurnya aku belum bisa sepenuhnya menerima Defia yang hadir dalam kehidupanku selanjutnya.

"Gimana? Sudah?" Tanya Yama yang masih berada di lorong lantai 4 bersama dengan Zulfiandi dan Bagas.

Mengangguk.

"Dia klepek-klepek enggak?" Tanya Bagas meletakkan ponselnya. Dia selalu sibuk dengan Mbak Nina-nya itu.

Menghela napas lantas duduk di antara mereka. Memejamkan mata singkat. Aku baru saja berjanji akan menjadi suami yang baik? Bagaimana caranya jika itu tanpa cinta? Apa yang aku katakan tadi? Otakku sudah keracunan otaknya David kah?

"Gimana reaksinya Defia, Nif?" Tanya Bagas lagi tidak sabar.

Membuka mata, melihat ke arah Bagas. "Dia diem aja, nggak tahu aku langsung balik."

"Pasti meleleh dia," gumam Yama.

"Dia masih utuh, nggak meleleh!" Timpalku tidak setuju dengan teori Yama.

Yama hanya mengerlingkan matanya.

"Ya gimana ya, Nif. Emang sih ini tuh lucu banget buat kita, apalagi buat yang menjalani kan? Tapi kita sebagai sahabat juga nggak akan cuma ngetawain doang tanpa kasih solusi," ujar Zulfiandi lebih menenangkan. Dia itu bagaikan embun di antara kami, sayangnya embun yang tercemar karena kulitnya hitam. Ha ha ha.

"Bener tuh. Seorang sahabat itu akan mentertawakan kita lebih dulu ketika kita jatuh, setelah puas baru membantunya berdiri," timpal Bagas yang memang selama ini selalu begitu padaku.

"Nah itulah gunanya sahabat, tertawa paling keras tapi kepeduliannya tidak terbatas." Yama lagi-lagi membenarkan.

Aku mengangguk, mau bilang makasih kok kelihatan manis sekali laki-laki dengan laki-laki. Kalau tidak bilang makasih kesannya kok sombong sekali. Tapi tanpa aku katakan, mereka pasti tahu bahwa aku bersyukur mengenal mereka sebagai teman dan sahabatku.

"Kita emang sih nggak bisa bantu banyak, apalagi dengan rencana menggagalkan pernikahan kalian, kita sebagai sahabat tidak akan sebrutal itu. Seolah-olah malah kita melawan takdir Tuhan. Nggak berani kan kalau urusan Tuhan."

Yama memang benar, melawan Tuhan sangat-sangat tidak pantas.

"Jadi biasanya kita sekarang ya menghibur, menenangkan, memberi masukan bagaimana baiknya. Mau tidak mau kalian akan menikah, mau tidak mau kalian akan membina rumah tangga bersama. Memang sih kalian bisa saja berpikir kalau kalian bisa bercerai setelah menikah nanti, bisa diatur lah itu. Tapi kan, pernikahan tidak selucu itu."

"Iya," timpal Zulfiandi setuju dengan Yama. "Bercerai memang dibolehkan tapi Allah membeci itu."

Aku menggeleng. "Gue nggak berpikir akan bercerai. Itu terlalu ngeri, bukan hanya Allah yang nggak suka, Mama gue pasti juga kecewa."

"Nah, sekarang ya yang bisa kalian lakukan menerima pernikahan ini dengan lapang dada. Ya gue tahu sih bakalan susah banget nerimanya, lo masih berat aja gitu, dalam bayangan lo pernikahan ini pasti sangat kejam kan? Lo pasti bakalan berantem setiap saat sama Defia? Pasti pernikahan itu ada pertengkarannya, namanya dua manusia yang berbeda disatukan itu tetap ada gesekan di sana. Cuma kalian lah yang bisa meredam pertengkaran itu, jangan harapkan orang lain bisa," kata Zulfiandi dengan nada yang menenangkan.

"Damainya rumah tangga kalian nanti juga kalian yang menentukan, kita mah cuma bisa lihat dan mentertawakan," ucap Yama diiringi tawa jahatnya.

"Lo bilang apa tadi sama Defia?" Tanya Bagas penasaran.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang