84. Mengulang Cerita Menjelang Akhir

4.6K 565 21
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Pemanggilan atlet menjelang kualifikasi Olimpiade telah dilakukan. Alhamdulillah masih bisa masuk tim, bersama dengan Ruhil, Mutiara, Ramaniya, MA Wahyu, Haidir, dan lain sebagainya. Yang itu artinya lagi-lagi aku berpisah lagi dengan Hanif.

Dia belum pulang lagi setelah dua tiga hari di rumah dan mendapatkan pemanggilan TC kualifikasi Piala Asia U-23 tapi aku sudah mendapatkan pemanggilan, dia masih sibuk TC tanpa kepastian, bahkan dia belum mendapatkan tandingan untuk uji coba sebelum turnamen, aku malah sudah pasti jadwal latihan dan uji coba. Betapa rumitnya sepakbola, petinggi sibuk ungkap mafia tetapi lupa ada hal-hal yang harus diurus. Terlalu takut terjangkit mafia mungkin.

Kemarin AFF U-22 pun tak banyak melakukan uji coba, bahkan klub lokal saja tidak banyak. Sekarang untuk kualifikasi Piala Asia U-23 pun sama. Ini sebenarnya mau juara atau tidak sih?

Dan sekarang baru aku sadari, dunia yang Hanif tinggali bukan dunia yang menyenangkan, bukan lagi rumit, tetapi juga mengerikan serta berisiko tinggi. Salah melangkah hidup Hanif bisa hancur sekali waktu.

"A," panggilku lesu, lewat suara.

Sejak sepuluh menit yang lalu kami memang tersambung via panggilan suara. Dan yang kudengar hanyalah pekik dua orang bermain game.

"Arggghh, Witan!" Pekik Hanif membuatku sedikit merasa tersisihkan sebenarnya. Dia sedang sibuk bermain PES dengan Witan sejak aku telepon tadi. "Kenapa, Sayang?"

"Sayang-sayangan mulu, Bang! Tuli telinga gue!" Pekik Witan di seberang sana.

"Diem lu! Main yang bener itu kiper lo blunder mulu!" Seru Hanif sepertinya sekarang ini dia lebih peduli dengan Witan dibandingkan dengan istrinya sendiri.

"Aa!" Bentakku karena merasa kesal.

Seharusnya dia tahu, waktunya untuk bisa berbincang denganku tidak banyak. Lebih banyaknya dia sibuk berlatih untuk negaranya. Aku ikhlas lah kalau semua demi negara, nah aku cuma minta waktu istirahatnya saja. Tidak salah kan?

"Urusin dulu istrinya, Bang! Ngeri ntar berubah jadi singa," suara Witan tersamarkan oleh gerakan.

"Kagak, istri gue mah baik."

"Ye, kagak tahu nih kalau cewek marah, pacarku aja kalau marah serem."

"Oh yang one step closer itu kalau marah serem, Tan? Ah, itu kan KW, yang ini asli."

Ini malah ngomongin one step closer lagi kan. Dia itu sadar enggak sih kalau istrinya nunggu dan sedang rindu?

"Aa!" Bentakku lebih keras lagi. "Mau tanya kabar Teteh atau tidak sama sekali?!"

Suara Witan cekikikan. "Tuh urus tuh, Bang. Ngeri-ngeri."

"Arggghh tipis! Bentar, Sayang. Asli ini dikit lagi menang," pekiknya dan itu sungguh membuatku kecewa.

Aku matikan ponsel dan lebih memilih untuk bercengkrama dengan Mama dan Ibu di ruang tamu. Karena Hisyam sibuk dengan pendidikannya, Haykal pun sama, Ibu memutuskan untuk menemani Mama di Jakarta. Belum lagi mulai besok pagi aku harus berangkat pelatnas ke Wisma Atlet.

"Kenapa, Teh? Kok wajahnya cemberut?" Tanya Mama begitu aku duduk di sebelahnya.

"Kesel, Ma."

"Kesel kenapa?"

Menggeleng. Bagiku tidak semua masalah bisa dibagi dengan Mama ataupun Ibu, seharusnya aku lebih bisa menyelesaikannya lebih dulu. Mengapa? Karena ketika kita berumah tangga, itu artinya kita harus mandiri mengurus masalah sendiri tanpa pernah lupa balas budimu bagi orang tua ialah yang utama.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang