55. Getaran Metropolitan

6.5K 671 129
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Keluar dari kamar dengan detak jantung melonjak drastis setelah saling menatap Defia. Rasanya uang tabunganku cukup jika untuk ke Lombok, sayangnya mentalku yang tidak cukup untuk kesana. Mau berapa hari pun Defia minta aku ke sana, cukup waktuku selama liga 1 belum mulai lagi, selama lengan kiriku sudah sembuh. Masalahnya, apa aku bisa bersama Defia selama itu dengan rasa yang baru.

Dulu ketika pertama bertemu di Kemayoran, meski kami saling menatap lekat, tapi waktu itu adalah kebencian, bahkan tak pernah bisa menggetarkan jantungku. Mengapa sekarang lain? Seperti getaran bermagnitudo yang mengguncang Jakarta sebagai kota Metropolitan. Benarkah aku telah jatuh cinta? Semudah itu?

Mama melirikku dan menahan tawanya di dapur, bibirnya dilipat susah payah agar tidak tertawa lebar. Beliau pasti masih terbayang posisi apa yang beliau lihat di kamarku tadi. Itu hanya posisi ketika aku mengunci tubuh Defia di tembok sama seperti subuh tadi, tidak ada yang terjadi selain itu tapi orang-orang pasti berpikir lain.

"A, A, meskipun di rumah sendiri, kamar itu harus dikunci," sambil menahan tawanya.

Duduk di dekat meja makan, meminum air mineral yang baru saja aku ambil. Meneguknya sambil melihat Mama yang masih saja susah payah menahan tawa.

"Nggak seperti yang Mama pikirkan," seruku meletakkan minumanku.

"Memangnya apa yang Mama pikirkan? Kan Mama cuma bilang walaupun di rumah sendiri, kamar itu harus dikunci," penuh dengan penekanan tapi Mama berusaha menahan tawanya berulang kali. "Berarti Aa mikir itu ya? Yang aneh-aneh."

"Enggak, Ma."

Mama sekali lagi menahan tawanya. "Tahan-tahan dulu, A. Teteh masih punya banyak mimpi yang belum terkejar, jangan dihambat dengan keinginan Aa."

"Maksudnya, Ma?"

Mendekatiku. "Ya Aa mah enak kan main bola nggak sambil mengandung anak. Nah kalau Teteh main Taekwondo sambil mengandung? Baru kuda-kuda saja sudah jatuh itu anak."

"Ada ada aja, Ma. Teteh nggak hamil juga itu."

"Ya kalau kamu nggak kontrol keinginan kamu, bisa kan Teteh hamil?"

Menelan ludahku, keinginan yang mana? Kenapa Mama jadi membahas sesuatu yang dewasa? Bahkan aku belum sempat berpikir semacam itu. Berpikir tentang jantungku yang bergetar saja sudah cukup ribet apalagi berpikir sesuatu hal yang dewasa.

"Teteh masih ada banyak turnamen, masih ada kejuaraan dunia, masih menuju Olimpiade Tokyo 2020. Teteh masih sangat muda untuk pensiun dari dunianya, A."

Banyak orang tua menginginkan anak atau menantunya lekas hamil, memberikan cucu tapi Mama dengan pengertiannya memikirkan karir Defia sebagai atlet. Dunia macam apa yang sebenarnya Allah SWT suguhkan untukku? Musuh yang mendadak jadi istri, mertua yang lembut dan baik berbeda dengan anaknya, Mama yang sangat pengertian pada menantunya, dan yang jelas aku belum sanggup mencintai Defia. Apa sebenarnya hikmah Tuhan dari segala macam takdirnya untukku?

"Tahan dulu ya, A? Ya maksudnya dikondisikan biar Teteh ndak hamil dulu sebelum dia benar-benar mau memutuskan pensiun."

"Aduh, Ma!"

"Ya Aa harusnya tahu lah nanti kalau dipaksa meninggalkan sesuatu yang dicintai, pasti akan menjadi masalah psikologis juga buat Teteh, kasian. Apalagi setelah Asian Games, Teteh lagi semangat-semangatnya."

Menghela napas panjang. "Ma, Aa juga belum berpikir untuk mempunyai anak, ya bukan ndak suka jika Allah SWT kasih rezeki, tapi ada beberapa hal yang Aa merasa belum siap menjadi seorang Ayah, jadi suami yang baik saja Aa merasa belum bisa. Dan iya, Aa mengerti Teteh butuh banyak waktu dan kesempatan untuk meraih mimpi-mimpinya. Jadi Aa pun tidak akan menghalangi, Mama tenang saja."

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang