41. Malam Panjang di Jakarta

5.8K 611 136
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Setelah menyanyikan lagu menghitung hari, aku kembali duduk di sebelah Defia. Kami yang awalnya diolok-olok karena memakai baju couple, kini karena laguku kami pun diolok-olok. Lagu tadi memang tidak berarti untuk siapapun, hanya persembahan untuk Pak Imam dan Istri yang sudah mengundang kami. Mau nyanyi yang lain juga tidak begitu ingat lirik dan chord gitarnya. Bisanya itu ya itu, tapi malah menjadi ranjau untukku sendiri.  Sebenarnya mau sampai kapan pernikahan ini hanyalah tertawaan orang lain?

Kembali ke hotel masih dengan godaan Bagas, dia itu kadang aku ragukan, dia sahabatku atau penonton bayaran kok doyan banget bersorak dan mentertawakan hidup orang.

Sejak tadi Defia pun hanya diam, di perjalanan dia sama sekali tidak mengatakan apapun, bahkan tidak memainkan ponsel seperti saat berangkat. Dia hanya memejamkan mata tapi tidak sepenuhnya tertidur. Buktinya sampai di hotel dia langsung turun tanpa dibangunkan. 

"Gas, gue tidur sama elo ya?" Pintaku menyamai langkahnya.

"Kagak!"

"Ayolah, Gas!"

"Lo punya istri masa' tidur sama gue? Apa kata orang, Nif?"

"Nggak masalah lah, ayolah."

"Enggak, tidur sama istri lo!"

"Ayolah, Gas," rengekku.

Bagas langsung menoyor kepalaku. "Gue sebagai sahabat lo di sini, gue mau lo berlaku seperti suami pada umumnya. Lo harus melindungi istri lo, kasih nafkah dia, lo harus bertanggung jawab semua tentang dia dan termasuk menutup aib rumah tangga yang juga aib istri lo!"

Aku menghentikan langkahku karena ucapan Bagas.

"Gue emang sering ngetawain lo, tapi gue tetep mau yang terbaik buat elo, Nif. Lo sahabat gue, gue nggak mau lo lewat jalan yang salah. Walaupun lo ditertawakan Pak Jokowi juga, lo harus tetap berada di jalan yang benar. Lo harus jadi suami yang baik, lo harus belajar bareng sama istri lo sekarang. Kalau lo nggak bisa, lo datang ke pengadilan besok, lo ceraiin istri lo! Kelar!" Tekannya membuatku hanya bisa menelan ludah. "Semua terserah lo, mau denger apa kata sahabat lo atau lo mau terus-menerus jadi anak kecil yang sudah harus jadi kepala keluarga!"

Bagas langsung masuk ke dalam kamar, pintunya ditutup sekian detik tapi dibuka lagi. Padahal aku dan Defia masih mematung di depan kamarnya.

"Defia juga, gue sahabat suami lo dan mulai sekarang gue sahabat lo juga! Gue nggak mau perempuan muslimah kaya elo nyia-nyiain kesempatan buat cari bekal akhirat. Lo harus belajar jadi istri yang baik, mulai lemah lembut ntar suami lo juga bakalan luluh. Lo harus mulai dan menutup hari dengan senyum di depan suami lo. Lo nggak bakalan ngerti apa arti ridho dari suami lo, lo bakalan terus hidup dengan penyakit hati, lo bakalan jadi perempuan yang mengerikan kalau lo nggak mau sedikit mengalah dari ego lo. Sekali lagi, gue emang sering ngetawain kalian, tapi gue selalu berharap kalian mengerti lewat takdir ini bahwa kebencian, penyakit hati dan teman-temannya itu mengerikan sekali!"

Aku menelan ludahku karena itu, sebelumnya Bagas tidak pernah mengatakan yang semenohok ini. Dia memang sering memberi masukan padaku, tapi selalu dengan kata yang sedikit lebih lembut kali ini dia benar-benar to the point dengan nasihatnya. Bukan lagi dengan sindiran halus atau pesan yang tersirat.

"Pikirkan omongan gue kalau kalian masih punya sepotong hati yang sehat," katanya terakhir lantas menutup pintu kamarnya.

Defia dan aku masih mematung di depan pintu kamar Bagas, entahlah rasanya seperti dipermalukan tapi tidak malu, disakiti tapi tidak terluka, hanya merasa ada benda tumpul yang menghujam dan itu tidak jelas alasannya karena omongan Bagas atau memang karena aku merasa, iya aku salah langkah dalam beberapa hal.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang