Defia Rosmaniar 🥋
Dua hari usai meraih emas di ajang Asian Games 2018, banyak wartawan yang datang menghubungiku, banyak pula televisi yang mengundang kehadiranku. Cukup sibuk jadinya bak artis ternama, bahkan Instagram yang pengikutnya hanya sekian ribu saja menjadi ratusan ribu tidak terkendali dalam hitungan hari. Sungguh aku merasa telah mengalahkan seorang artis, apalagi ketika banyak endorse datang termasuk dari sektor perbankan yang bekerja sama denganku untuk keberangkatanku menunaikan ibadah haji entah kapan.
Menjadi perempuan yang super sibuk, teman lain bisa pulang istirahat di rumah setelah beberapa laganya berhenti, ada yang menang ada yang memang tersingkir. Aku bertahan di Wisma Atlet justru karena masih banyak undangan-undangan yang harus aku hadiri, wawancara, talkshow. Dan dari diundang stasiun televisi itu aku baru tahu kalau peraih emas pertama Asian Games tahun ini adalah aku sendiri. Bangga sekali jadinya.
Tapi hari ini aku harus pulang, harus menemui Ibu, katanya beliau tidak enak badan, padahal aku sendiri juga lemas rasanya.
"Cik, pamit ya?" Kataku pada Cik Butet yang tengah bergurau dengan beberapa atlet.
"Yah, pulang lo, Def? Makin sepi aja ini wisma atlet setelah Hanif dan lo pergi."
Aku tersenyum. "Biar nggak sepi, lempar-lemparan piring Cik sama atlet bulutangkis dari China."
"Iya piringnya gue smash. Btw dapet emas kan? Ngajak makan-makan nggak? Atau mau dipakai modal buat nikah?"
"Alhamdulillah, Cik. Datang lah ke rumah kalau jodoh gue udah datang, Cik, pasti juga makan-makan," kataku. "Ehh itu tuh yang baru dapat emas hangat-hangat," teralihkan karena Rifki Ardiansyah datang bersama para officialnya. Dia atlet karate, tentara juga yang aku dengar, dan pagi ini dia dapat emas untuk Indonesia.
"Wehhh, iya si Rifki," sapa Cik Butet mendekati.
"Kenapa, Cik?" Rifki dengan wajah cengohnya. Lumayan manis walaupun tidak tersenyum, jadi bayangin dia kalau pakai seragam tentara.
"Lo kan menang tuh, dapet satu koma lima miliar dong. Nggak ada niat buat ngajakin makan-makan?" Cik Butet sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya bersamaan.
Rifki tertawa, melihat ke arah Cik Butet. "Boleh, Cik. Tapi Cik Butet harus jadi pacarku dulu, nanti namanya bukan makan-makan lagi, tapi ngedate."
Aku hanya bisa melongo, bahkan Anthony Ginting juga tidak bisa berkata apa-apa selain membulatkan bibirnya. Ricky Karanda dan pasangannya yang sedang berbincang langsung menoleh. Seorang Aprilia Manganang yang mau menyapa Cik Butet tidak jadi menyapa dan justru menghentikan langkahnya menahan tawa.
"What the... Gue merasa lagi digombalin berondong. Kurang ajar lo ya!" Bentak Cik Butet pada Rifki.
"Canda, Cik," teriak Rifki berlari sambil nyengir.
"Anjay, hampir aja gue terklepek-klepek padahal cuma gitu doang," keluh Cik Butet membuatku tertawa.
Tapi lambat laun tawaku redup, pasti akan aneh rasanya di rumah tanpa banyak bertemu dengan saudara sebaik mereka. Apalagi Cik Butet yang selama ini memberiku banyak petuah, termasuk bagaimana petuahnya tentang rasa benciku pada Hanif, bagaimana kabarnya Hanif? Ah, alah, malah sampai ke dia juga.
Aku pasti rindu semua hal yang terjadi di Wisma Atlet. Bagaimana kami saling support satu sama lain untuk negara, bagaimana kami berbagi pengalaman ketika memperjuangkan nama baik bangsa. Semuanya tidak akan kurasakan lagi, pasti hanya ada satu dua orang yang di sini masih melakukan itu, tanpa aku.
Menghela napas panjangku, bumi tidak pernah mau berhenti memutar waktu, bagaimanapun aku nanti, esok pasti akan bertemu lagi dengan mereka, apalagi Cik Butet yang sudah aku pastikan, aku ingin menemuinya suatu saat nanti di Wisma Atlet, meski kudengar akhir tahun ini dia memutuskan pensiun.
![](https://img.wattpad.com/cover/163045872-288-k941795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
Fiksi PenggemarDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...