22. Bagaimana Hanif Itu!

4.2K 465 69
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Rumah sedang ramai-ramainya, banyak orang datang sekedar membantu memasak, ada yang datang sekedar tanya siapa yang akan datang ke rumah ini kenapa persiapannya banyak sekali. Jangankan mereka, aku yang penghuni rumah ini saja bingung kenapa ada banyak persiapan semacam ini.

"Def, baju batik yang Ibu cuci tadi pagi jangan lupa di setrika, nanti malam dipakai," kata Ibu melihat ke belakang rumah yang masih cukup terik.

Ada satu baju batik yang modelnya memang aku yang menentukan, dipadukan dengan brokat berwarna peach, senada dengan kebaya yang dipilihkan oleh Tante Tia waktu itu.

"Buat apa?"

"Ishhh, kamu ini nggak paham-paham!" Ibu memukul lenganku.

Ya memang tidak dikasih tahu mau gimana lagi. Di rumah ini rasanya cuma aku yang tidak tahu apa-apa. Kakak yang jauh-jauh datang dari rumahnya saja sejak tadi menggodaku dengan kalimat-kalimat yang rumit.

Ketika malam menjelang, satu rombongan keluarga datang, ada Hanif Sjahbandi di antara mereka, dengan baju batik yang senada dengan bagian bawah bajuku. Aku menoleh ke arah Ibu yang tengah menyambut kedatangan Tante Tia.

"Bu?" Tanyaku pada Ibu tapi Ibu tidak peduli, malah menyambut tamu yang lainnya.

"Kamu masuk ke dalam," kata Ibu sambil meminta Kakak menemaniku di dalam. 

Alhasil aku hanya duduk di kamar cukup lama, mungkin sampai 45 menit dan tidak terdengar percakapan di luar.

Sampai aku bosan barulah aku diminta keluar dengan banyak pasang mata yang tertuju padaku, termasuk dua Adik Hanif yang tersenyum padaku. Kecuali Hanif yang memilih tidak memandangku. Dan saat ini pula aku tahu, ini proses lamaran? Iya, ada satu kotak cincin di depan Hanif dan Tante Tia.

Apa pula maksudnya? Dia tidak bisa gitu dapat jodoh yang lain? Dia menerima saja gitu perjodohan ini?

Sejujurnya aku tidak menerima tapi aku tidak bisa membantah sebab sudah berjanji pada Ibu. Makanya kemarin aku hanya berharap pada usaha-usaha Hanif untuk menghentikan perjodohan ini.

Aku duduk disandingkan dengan Hanif, bersebelahan tanpa saling menatap. Dia terlihat sangat putus asa sekilas sementara aku cukup kesal karena kegagalannya.

Setelah banyak perbincangan lagi, Tante Tia dan Ibu hendak memasangkan cincin pada kami. Simbol kalau kita sudah dalam ikatan yang satu tingkat lebih tinggi dari pacaran. Meski belum sah, tapi tanda pula bahwa aku sudah dikhitbah jadi tak boleh ada laki-laki lain yang mengkhitbah aku.

Sedikit kutarik mundur jariku ketika Tante Tia sudah memegang jari manisku. Sementara Hanif berada di antara aku dan Tante Tia terkesan tidak peduli.

Tante Tia menarik lagi jari manisku lalu memasangkan cincin itu secara paksa, bukan mamaksa yang kasar tapi benar-benar genggaman Tante Tia kuat menahan penolakanku.

Sekarang giliran Ibu yang ada di sampingku memasangkan cincin pada Hanif, jadi aku ada di antara Hanif dan Ibu. Semua berkata Alhamdulillah tapi aku dan Hanif hanya diam saja.

"Senyum!" Bisik Ibu dan Tante Tia serempak pada aku dan Hanif.

Kami berdua tersenyum dengan terpaksa, itu terjadi sampai acara usai dan menyisakan dua keluarga utama saja.

Hanif mengajakku keluar rumah, di taman sebelah rumah, katanya dia ingin berbicara sesuatu. Tapi baiknya aku dulu, sudah tidak tahan aku dengan semua kalimat yang ada dibenakku.

"Katanya lo mau cari cewek lain sampai ngajakin Cik Butet nikah? Kenapa lo malah melamar gue!"

"Gue juga nggak mau ngelamar elo! Tapi gue udah janji sama Mama, 14 hari nggak dapat perempuan yang mau dinikahin, mau nggak mau harus nikah sama elo! Lo harus tahu gue terpaksa!"

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang