74. Romansa Sebelum Perpisahan

5.1K 641 107
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Malam ini setelah berkumpul dengan kehangatan Bandung, Hanif enggan tertidur. Dia hanya memelukku cukup erat, sesekali mengecup kepalaku tanpa mengatakan apapun. Entahlah dia kenapa, tapi seperti seseorang yang sangat takut kehilangan. Terkadang menggenggam tanganku begitu erat.

Kami ada di kamar sebesar 3 × 3 meter. Hanya berdua dan tidak ada gangguan siapapun. Haykal dan Hisyam, mereka sudah ngebo di jam 22.37 WIB. Mama, apalagi Aki dan Nini pun jelas sudah tertidur. Hanya kami berdua saja yang terjaga.

"A, mau jalan-jalan?" Tawarku.

Bandung tidak pernah sepi, dia selalu ramai dimanapun tempatnya. Daripada hanya bosan di dalam kamar, lebih baik keluar, toh tidak ada yang bisa kami lakukan selain berbaring dan beberapa kegiatan standar. Kalau keluar, bisa cari romansa Bandung meski tak semanis romansa Jogja.

Hanif menjauhkan kepalanya dari atas kepalaku, memandangku. "Boleh," katanya melangkah menuruni tempat tidur lebih dulu.

"Tunggu, Teteh ganti baju," kataku mengganti yang lebih berwarna dari yang aku pakai.

Kami berjalan mengendap-endap, takut membangunkan orang rumah dan takut kena marah Aki serta Nini bila ketahuan malam-malam begini mau jalan-jalan, kan waktunya orang istirahat.

Menyusuri gang di sekitar rumah Aki dan Nini, bergandengan tangan di bawah gelap langit malam, berhiaskan bintang. Hanif merogoh kantung celananya, mencari uang receh di sana, itu karena dia tahu, di ujung gang nanti ada penjaja jagung bakar. Dia kembali menggenggamku setelah itu.

"Mau?" Tawarnya begitu kami tepat berada di depan penjaja jagung.

Mengangguk.

Kami duduk menghadap jalan raya, menggantungkan kaki di bangku memanjang, berbagi dengan pasangan lain yang setahuku masih pacaran. Dari cara mereka berbicara sudah sangat jelas. Kedua kaki kami berayun, sesekali menahan tawa oleh percakapan dua insan dimabuk asmara.

"Yang, kamu tahu nggak sebanyak apa aku jatuh cinta sama kamu?" Tanya yang laki-laki membuat kedua bibir Hanif dia lipat secara susah payah, dia menahan tawanya.

"Nggak tahu," yang perempuan menjawab.

"Abangnya lama nih bakar jagungnya, kaya lagi bakar mantan aja!" Keluhku sebenarnya ingin mengalihkan pembicaraan dua orang di sebelahku.

"Ha ha ha," Hanif tertawa lebar.

"Yakin nggak tahu?" Sempat berhenti ternyata dilanjut lagi. Ah dua insan ini, umurnya masih belasan tahun ini mah pasti.

"Enggak, Sayang."

"Sebanyak bintang di langit, mana bisa dihitung coba?" Jawab yang laki-laki membuatku dan Hanif susah payah menahan tawa.

Astaga, dua insan ini ada-ada saja caranya mengungkapkan cinta. Bagaimana bisa di tepi jalan, di samping pasangan halal mereka bermesraan begitu. Belum lagi, astaga, mereka nggak tahu aku dan Hanif siapa? Wajah kami nggak pernah nongol di TV? ha ha ha. Biasanya kan kalau ketemu tokoh, orang bakal jaga image gitu lho. Setidaknya nggak ngegombal di depanku.

"Teh, tahu nggak kenapa Aa jatuh cinta sama Teteh?" Tanya Hanif sambil melirik pasangan di sebelahku.

Dari caranya menatap, aku tahu dia tidak mau kalah saing dengan pasangan sebelah. Sepertinya seru nih kalau saling beradu gombalan.

"Kenapa?"

"Karena Tuhan sudah menuliskan nama Teteh bersamaan ketika Tuhan memerintahkan malaikat meniupkan ruh ke rahim Mama," jawabnya lagi-lagi sambil melirik pasangan sebelah.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang