Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Aku berjalan keluar menuju lantai 2, tidak menggunakan lift melainkan dengan tangga darurat, bukan apa-apa hanya ingin sedikit olahraga di sore hari. Tapi baru bangkit dari duduk saja David sudah mentertawakan, baru membuka pintu Ricky Fajrin sudah ngakak, baru juga berjalan dua langkah sudah bertemu Kevin Sanjaya yang tawanya ditahan-tahan, baru mau menginjak tangga pertama pun ketemu Bang Owi yang baru saja keluar dari lift dan dia mentertawakan aku.
"Lo bikin Cik Butet jadi pendiem tuh!" Kata Bang Owi menghentikan langkahku.
"Kenapa?"
"Gue habis dari kamarnya, Grey bilang Cik Butet jadi nggak mau ngomong sejak baca undangan dari Defia. Patah hati kali, baru berapa Minggu lalu kan lo ngajak Cik Butet nikah, eh tiba-tiba lo nikah sama Defia. Bayangin perasaan Cik Butet gimana."
"Masa', Bang?"
"Iya, baper tahu dia. Samperin sono!"
Aku memang mau ke lantai 2 sekaligus berjalan untuk menuju tempat makan malam. Kudengar Cik Butet juga ada di lantai 2, mungkin aku bisa tanya bagaimana kondisinya, apa benar yang dikatakan Bang Owi. Tapi ya kalau dipikir-pikir, apa seorang Cik Butet yang tampang keras dan garang semacam itu bisa baper dengan candaan?
Terus berjalan menuruni anak tangga hingga mendapati beberapa perempuan tengah berkerumun di lorong lantai 2. Awalnya sempat berhenti sebab sudah pasti akan ditertawakan oleh mereka jika aku bilang mencari Defia atau tiba-tiba mengetuk pintu kamar satu persatu, aku belum tahu dimana kamar Defia berada. Mau WhatsApp dulu, kami bahkan tidak punya nomor ponsel satu sama lain.
Menghela napas. "Maaf, mau tanya kamarnya Defia sebelah mana ya?" Tanyaku pada pemain bulutangkis putri, Greysia Polii.
"Eh, calon suaminya Defia. Tuh, kamarnya," menunjuk satu pintu kamar yang paling tengah.
"Terimakasih, Mbak."
"Tunggu, lo beneran mau nikah sama Defia?" Tanyanya dengan nada meledek sementara 3 orang lainnya menahan tawa dengan sangat susah payah.
Aku rasa mereka mereka ini hanya ingin mengejekku, sebab setahuku nama mereka ada di daftar penerima undangan. Apalagi yang satunya kutahu sebagai teman satu bidang dengan Defia meski tidak tahu namanya.
Tidak menanggapi pertanyaan mereka tapi aku langsung mengetuk pintu kamar Defia. Tadinya sih males banget, mau aku biarkan saja tapi kalau dipikir, kelancaran proses ini juga berimbas pada Mama, beliau yang sudah berusaha mati-matian jadi kalau acaranya kurang lancar, beliau juga yang kecewa.
"Ap..." Kata Defia terhenti begitu membuka pintu dan mendapati aku yang mengetuk pintu kamarnya.
Dia memalingkan wajahnya, seperti sangat benci padaku dan aku juga benci diperlakukan semacam itu. Dia itu calon istriku tapi dia juga musuhku yang paling tidak bisa dikendalikan. Aku ingin berbicara dengan urat-urat padanya, tapi tidak bisa ketika melihat cincin emas melingkar di jari manisnya. Harus sedikit bersabar meski banyak kemarahan yang terpendam.
"Cuma mau kasih undangan Pak Imam, lo kan yang ngotot mau mengundang orang sibuk?" Sedikit ketus tapi aku tahan, dia sama sekali tidak mau memandangku jadi aku juga malas memandangnya.
"Iya, tunggu kalau gitu," menghentikan langkahku yang hendak pergi setelah undangan di tangan kananku beralih ke tangan kanannya.
Aku menunggunya di depan pintu, sambil terus mendengar kata cie-cie dari Greysia Polii dan kawan-kawannya.
"Nitip buat Wahyu, sekalian kalau naik ke atas lagi," memberiku satu undangan.
"Kenapa nggak lo kasih sendiri sih?! Lo juga ketemu gitu! Harus gue yang repot?" Bentakku kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
Hayran KurguDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...