Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Aku baru saja membentak Defia, seolah mengusirnya saja jika tidak ikhlas datang kemari untuk mengurusku. Dia sama-sama atlet, harusnya tahu bagaimana ketika seorang atlet terjatuh dan cedera, itu hal yang paling menakutkan dalam hidup. Terlebih dengan cara jatuhku yang cukup keras tadi dokter bilang tulang di lengan kiriku patah dan besok pagi harus operasi. Dengan hasil cedera yang semacam itu emosiku jelas tidak bisa dikontrol. Bagaimana dengan karir sepakbolaku jika saja mengalami masalah yang lebih serius lagi?
Berat jika sudah cedera semacam ini, punya istri yang seharusnya merawat, menenangkan justru membentak di depanku. Biasanya Mama yang datang lebih dulu, beliau yang akan serius mengurusku bukan hanya untuk pencitraan macam Defia itu.
"Kenapa keluar?"
Samar-samar aku dengar suara itu dari depan ruangan rawat inapku yang memang tidak ramai seperti tadi, sudah cukup sepi karena malam pun semakin larut.
"Nenangin diri bentar. Gue ke sini pengen berbuat baik sama suami gue. Gue cuma nggak mau dia gerak dan akhirnya kelepasan bentak, Gas. Gue tahu lah cedera itu mimpi buruk buat atlet, makanya gue nggak mau dia banyak gerak!" Suara Defia cukup parau dengan tangisnya.
Samar-samar juga aku lihat dia menghapus air matanya dari kaca berbentuk persegi panjang di tengah daun pintu. Suasana di luar cukup jelas, karena tirai kecil yang harusnya menutup pun terbuka sejak tadi.
"Ya lo kasih pengertian aja."
"Dia juga nggak akan ngerti, Gas. Gue malah dibentak katanya nggak ikhlas, mending balik aja ke Bogor. Gue udah berusaha buat bisa jadi istri yang baik, capek dua Minggu berumah tangga harus dibimbing, berantem terus, bentak-bentakan terus. Susah juga kan, Gas, kalau elo yang biasanya sudah saling membenci tiba-tiba harus belajar mencintai? Butuh waktu tapi kalau gue doang yang berjuang, ya maaf, nggak bisa semudah itu."
Kata-kata Defia itu cukup membuatku tertegun. Dia mengatakan semua itu cukup emosional, aku tahu dengan cara itu dia tidak mungkin main-main dengan niatnya.
"Ah, cemen banget gue!" Membuang napas lantas menghapus air matanya. "Gue cuma pengen nenangin aja. Sorry, Gas," katanya membuka pintu lalu masuk ke dalam.
Aku pura-pura saja tidak mendengarkan, malah menyeka leherku dengan handuk basah. Seolah-olah sudah melakukan aktifitas ini sejak tadi padahal juga baru berapa detik setelah Defia membuka pintu.
"Biar gue," katanya mengambil alih handuk kecil itu cukup pelan.
Tidak seperti sebelumnya, aku tidak bisa menolak, membentak dan lain sebagainya. Aku hanya biarkan dia menyeka leherku, menyeka telingaku pelan-pelan, membersihkannya seperti sedang membersihkan telinga bayi, mengusap dahiku, membersihkan daguku, hidung pipi, bahkan mata disentuhnya dengan cukup lembut. Dia seperti seorang Ibu yang sedang merawat anaknya.
Semua bagian rasanya cukup, kecuali punggung, dada, perut dan sekitarnya. Yang penting bagian atas itu terasa bersih, jika tidak, sudah pasti aku tidak bisa tidur malam ini.
"Biar gue aja," meminta handuk padanya tapi tidak dia kasih, malah hanya menghela napas.
Aku lihat sisa-sisa air mata di ujung matanya itu. Bukti bahwa perasaannya sudah pasti tidak sekeras tendangannya dalam taekwondo.
"Emang lo mau lihat badan gue?" Tanyaku karena dia tidak mau memberikan handuk basah itu padaku.
Dia tidak mengatakan apapun, malah kembali mencelupkan handuk ke dalam baskom penuh air hangat.
"Def!"
"Lo buka aja baju lo," katanya cukup lembut. Tidak ada nada tinggi di sana.
Cukup tertegun lagi dengan kalimatnya. Dia minta aku buka baju? Dia nggak salah? Dia bahkan tidak pernah mau melepas jilbabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
Fiksi PenggemarDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...