Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Malam yang hambar sejujurnya, tak ada yang bisa dilakukan kecuali makan malam di angkringan Jogja. Posisiku tak jauh dari Stadion Sultan Agung, Bantul, Yogyakarta, SSA. Mau berdiam diri di kamar sama saja, tak ada yang bisa dilakukan. Bukan masalah besar sebenarnya, tapi tidak sesuai dengan rencana. Rencanaku habiskan malam indah ini di hotel, bukan jalan-jalan, jadi tidak ada persiapan mau jalan-jalan kemana. Itu masalahnya.
"A, kaya orang bingung," seru Defia saat aku melihatnya menyantap makanan, lantas menoleh ke berbagai sisi, mencari tempat paling romantis di Bantul.
Banyak tempat terkesan romantis, tapi yang aku temui baru angkringan di tepi jalan ini yang paling romantis. Aku tengah mencari ide saja, tempat yang paling romantis semakin menjadi romantis dengan sedikit kejutan tapi bagian mana?
"Ya karena nggak sesuai rencana, Sayang. Aa bingung harus gimana," jawabku seperti pasrah.
Defia malah tertawa. "Katanya setiap sudut Jogja romantis, kenapa nggak kita jalan saja, entah kemana nanti juga ketemu titik romantis, asal sama Aa mah."
"Ya tapi masalahnya nggak sesuai rencana itu, suka datang tiba-tiba tuh kesel."
"Harus ikhlas," katanya mengacak-acak rambutku tanpa malu. Banyak orang-orang di sini, entah pasangan tua maupun muda, banyak sekali yang duduk di sekitar kami, lesehan di tepi jalan.
Defia berdiri, menghampiri pemilik angkringan untuk membayar apa-apa yang kami makan tadi, dia lantas menarikku berjalan ke sisi barat kota Bantul, menggenggam tanganku dan sesekali bergelayut di lengan kananku. Terkadang dia bersenandung malam ini begitu indah, sekedar berjalan dan menikmati bintang.
"A, kalau-kalau jarak memisahkan kita lagi, malam mungkin terasa temaram, tapi lihat satu bintang yang berkedip, Teteh juga pasti lihat bintang itu," katanya menunjuk satu bintang yang lebih terang dibandingkan yang lain.
Aku tersenyum, mencuri-curi waktu untuk mengecup kepalanya ketika semua orang sibuk dengan dunianya dan acuh pada kami.
"A, kalau-kalau nanti Teteh berhasil masuk Olimpiade Tokyo 2020, Aa bakalan nyusul Teteh ke sana nggak?"
"Aa pasti nyusul, kecuali Negara memanggil saat itu juga."
Kembali menikmati malamnya Bantul, melangkah dan terus melangkah, menggenggam dan berbagi kehangatan. Sesekali bersajak tentang malam dan cinta. Sesekali bercerita tentang mimpi-mimpi Defia untuk Indonesia.
"Busetttt! Ketemu lagi, kita!" Pekik Bagas yang tiba-tiba saja muncul di depanku dan Defia bersama dengan salah satu pemain PS TIRA, Dimas Drajad.
Defia yang kaget lantas refleks menendang kaki Bagas, sementara aku menempeleng kepalanya.
"Nih, Dim, pasangan paling brutal di tahun 2018," kata Bagas sambil mengaduh.
Dimas hanya tertawa saja.
"Kalian kok bisa barengan? Nggak boleh, besok jadi musuh juga," tegurku.
Besok itu pertandingan antara Arema FC dengan PS TIRA, menuju akhir musim 2018. Seharusnya mereka duduk saja di kamar hotel mereka atau sekedar berbicara tentang taktik esok hari. Bukannya malah bertemu musuh dan main bareng semacam ini. Nanti bisa dibilang bocorin taktik, atau bahkan bisa dituduh kongkalingkong dengan mafia. Ha ha ha. Tapi tidak, dua orang ini bersahabat sejak di Timnas Junior. Tak heran kalau mereka pun tidak bisa menahan rindu untuk saling bertemu.
"Nggak sengaja kita, Nif. Pas lagi jalan keluar hotel eh ketemu, ya sudah sekalian melancong. Tadinya gue sama Bang Abduh, sama Syahrul, tapi mereka pisah," jelas Dimas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanfictionDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...