32. Tugas Pertama Seorang Istri

5.3K 554 74
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Sampai jam 02.19 WIB aku masih terjaga, masih tak sanggup menutup mata. Lelah sebenarnya, telah melewati banyak hal hari ini. Tapi pikiranku pun tidak bisa tenang, sekarang sudah menjadi istri dari seorang Hanif Abdurrauf Sjahbandi, banyak kewajiban yang harus aku lakukan, seolah menyerahkan seluruh hidupku pula pada Hanif. Aku mengerti tentang itu semuanya, tapi berat melakukannya.

Malam ini pun rasa bersalah itu sedikit ada. Perempuan macam apa yang tidur di atas tempat tidur dengan nyamannya sementara suaminya di bawah beralaskan karpet saja.

Jika ada yang mau menghakimiku atas ini semua, tak masalah, karena kalian pun tak ada di posisiku, kalian hanya bisa berkomentar sebab kalian tak pernah tahu rasanya dipaksa menyerahkan seluruh hidup dan pengabdianmu pada musuhmu sendiri. Itu pun karena kalian bukan aku yang sulit menerima kenyataan semacam ini. Orang yang selalu bersitegang denganku akhirnya menjadi seseorang yang selamanya akan hidup denganku. Hidup kalian mudah menerima apapun, aku bukan kalian, jadi jangan bandingkan juga.

Berusaha memejamkan mata tapi tetap saja tidak bisa, justru sempat penasaran dengan apa yang dilakukan Hanif sejak tadi. Ponselnya dan ponselku terus saja bersahut-sahutan, paling ramai sih ponselnya entah berapa banyak pemberitahuan yang masuk ke dalam ponselnya.

Aku melihat Hanif dari atas tempat tidurku, dia sudah tidur dengan tangan kanan yang masih memegang ponsel dan layarnya yah berkedip-kedip. Sudah begitu tangan kirinya berada di antara kakinya yang ditekuk, seperti orang yang kedinginan.

Cuaca memang lebih banyak hujan akhir-akhir ini, sudah mulai berdatangan pula rintik-rintik nikmat Tuhan itu. Aku yang di atas saja merasa kedinginan apalagi dia yang hanya beralaskan tanah.

Boleh jadi dia adalah musuhku, tapi bukan berarti aku selalu memperlakukan dia buruk. Jadi aku lepas selimutku lantas aku tutupkan selimut itu pada tubuhnya, aku angkat ponselnya perlahan dan menaruh ponsel itu di atas meja kecil.

Sementara Hanif memakai selimut itu, aku masih bisa pakai rok tebal yang ada di almariku, toh tak akan lama, aku juga tidak bisa tidur. Jika harus minta selimut keluar, bisa saja terkena masalah yang cukup pelik. Ibu dan Mama pasti berceramah 7 hari 7 malam tanpa berhenti.

Sempat terjaga beberapa jam, aku hanya terlelap beberapa menit saja, itu pun masih mendengar suara-suara gemericik air, suara-suara ponselku yang masih memutar lagu-lagu Ariana Grande.

Subuh telah menyapa, adzan telah berkumandang samar-samar oleh air hujan yang gemericiknya semakin deras saja. Seperti biasa, begitu bangun aku langsung ke kamar mandi, membersihkan diri, mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban sebagai ummat manusia.

"Astaga!" Justru terkaget sendiri ketika melihat ada seonggok daging di balik selimut, separuh tubuhnya berada di bawah tempat tidurku dan separuh lagi ada di luar tempat tidurku yang rongga bawahnya cukup rendah.

Menggeleng. Pemain bola kalau tidur ternyata seperti saat dia di lapangan juga. Banyak gerak dan nggak bisa diem.

Hendak sholat tapi akan berdosa jika aku membiarkan dia masih tertidur padahal adzan subuh sudah berkumandang. Ini tugas pertamaku, membangunkan Hanif dari tidur brutalnya. Tapi dengan cara apa?

Melihat ponsel Hanif yang berkedip-kedip aku jadi punya ide. Sempat membuat salah fokus juga saking banyaknya notifikasi yang masuk ke ponsel Hanif, untung juga tidak dikunci dengan sandi-sandi alay itu, jadi mempermudahkan aku. Masih mengutak-atik dan mencari aliran musik yang lebih rock untuk membangunkannya.

"Ahhh!" Teriaknya karena kaget ponsel dengan volume tertinggi itu aku tempelkan di telinganya kirinya, membuat kepalanya itu terbentur bagian bawah tempat tidurku. "Aduhhh," mengaduh sambil menguap cukup lebar.

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang