17. Ingin Kuteriak

4.4K 498 118
                                    

Defia Rosmaniar 🥋

Aku bangun pukul 2 siang, setelah sholat Zuhur, itu artinya hampir dua jam aku tidur, saking lelahnya. Itupun aku bangun karena dibangunkan Ibu dan Kakakku. Katanya sebentar lagi tamuku datang, calon suamiku kata Ibu.

Berjalan gontai untuk mandi, dipaksa Ibu lagi-lagi. Bahkan dandanan saja Ibu yang urus, seriusan aku tidak berminat dengan perjodohan ini. Padahal nggak begitu dipaksa juga tapi tidak bisa menolak juga, aku yang sudah setuju jika tak dapat pacar dan malah dapat medali emas. Kuharap laki-lakinya tidak mau jadi aku juga ada alasan tidak mau.

"Udah cantik," kata Ibu mengusap kepalaku yang dibalut hijab.

"Ini seriusan Defia mau dijodohin, Bu?"

"Iya, kenalan aja dulu, nanti lah dua bulan lagi nikah, uhuk," kata Ibu sambil terbatuk-batuk.

"Aduh, Bu, secepat itu?"

"Ibu nggak tahu lho, Dik, kapan Ibu akan kembali," sambil merapikan alat make up ku.

Aku menghela napas, berbalik memandang Ibu. "Bu, jangan kaya orang tua di sinetron lah yang tiap mau jodohin anaknya selalu bawa ajal. Ajal loh nggak salah apapun tapi dia dibawa-bawa terus buat bisa penuhin keinginan manusia, he he he."

Jangan heran, aku dan Ibu suka sekali bercanda, apalagi dengan Kakakku. Bercanda itu satu hal yang menyenangkan, ketika hidup terasa tidak ada beban, tertawa dan hanya tertawa.

"Ya gimana kan Ibu bicara nyata, ajal siapa yang tahu kan?"

"Kalau begitu juga nggak ada yang tahu sebelum nikah Defia bisa saja kembali pada Tuhan yang Maha Esa."

"Hissh kamu itu bicara apa?!" Memukul punggungku.

"Makanya Ibu, nggak usah deh bawa-bawa ajal, Defia juga nggak akan bawa-bawa itu. Defia tahu semua orang pasti akan meninggal, tapi Defia nggak suka berbicara itu sama Ibu!" Tegasku sambil memeluknya erat.

Jika ajal bertanya tentang kesiapan, aku tak akan pernah siap berpisah dari Ibu. Tentu yang lain juga begitu kan?

"Oke oke, baiklah."

"Karena Defia sudah janji, jadi Defia juga harus siap dijodohkan, Ibu tenang aja. Kecuali kalau laki-lakinya nggak mau, Defia juga nggak mau maksa."

"Iya, iya," kata Ibu.

Cukup lama aku diminta duduk, melihat beberapa orang sibuk menyiapkan banyak jamuan, katanya aku akan dimanjakan. Asli ini kaya lamaran padahal Ibu sudah menjelaskan kalau ini pertemuan pertama, hanya waktu untuk saling mengenal saja.

"Assalamualaikum," sapa salam itu terdengar hingga ke tempatku.

"Wa'alaikumsalam," jawab Ibu melangkah pergi ke ruang tamu.

Sementara aku? Aku justru berjalan keluar lewat pintu belakang, berjalan terus sampai ke taman samping rumah. Cuma pengen ngintip bentar siapa yang datang, kalau ternyata jelek, aku bisa lari dulu sebentar, kan susah juga adaptasinya.

Begitu keluar, hendak mengintip dari jendela samping rumah yang langsung terhubung dengan ruang tamu, aku justru mendapati tiga orang laki-laki tengah berdebat di pojokan, tiga meter dari tempatku mengendap-endap untuk mengintip ke dalam.

"Ayolah, A, masuk!" Kata yang paling kecil diantara mereka bertiga.

Satunya sedikit berisi, berjajar dengan yang baru saja berbicara dan menghadap ke arahku sementara yang satu lebih tinggi, dia memunggungiku.

"Kagak ah, Kal! Aa belum siap tahu!" Tolak yang membelakangiku.

Aneh, mengapa dari suaranya aku seperti mengenal dia? Siapakah gerangan?

Wisma Atlet Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang