Defia Rosmaniar 🥋
Jakarta ialah kota metropolitan penuh dengan berbagai kenangan, tentang bagaimana kami dipertemukan, menjadi titik awal kehidupan dalam kesepakatan. Jakarta, kuharap dia bisa jadi Ibu Kota Rasa dalam hidupku, dimana rasa Bandung, Malang, Bogor semua akan menyatu di Jakarta. Mulai dari pertengkaran, maknai pernikahan, atau nanti jika akhirnya kami saling jatuh cinta.
Aku tatap Hanif begitu lekat tepat sebelum kita mendarat, dia masih lelap dalam pengaruh obat. Laksana bayi lucu yang menenangkan, sayangnya ketika mata itu terbuka, selalu saja menyebalkan. Selalu ada detak yang salah ketika dia membuka mata dan memandang lekat, ketika mata saling beradu dan ketika dia menyentuh melalui kalimatnya. Terkadang aku merasa itu sangat salah, jangan sampai itu cinta sebab Lombok telah menanti aku jatuh cinta di sana.
Bukan hanya jantung yang terkadang salah bergerak, tangan pun melakukan hal yang sama. Bergerak, menyentuh rambut bagian depannya yang menutup kening, mengusapnya sekali lantas bibir pun melakukan kesalahan sebab ia tersenyum tanpa alasan. Apa pula yang aku lakukan? Mengapa semua organ melakukan kesalahan dalam bekerja?
"A, udah landing," bisikku menepuk bahu kanannya.
"Hemm?" Membuka matanya dengan cukup cepat, mungkin karena kaget. "Ya sudah ayo," ajaknya menarik tanganku.
Wajahnya masih bantal sekali, matanya belum sempurna menangkap bayangan, tapi dia cukup semangat untuk keluar dari pesawat ini. Beberapa penumpang padahal sibuk menyapa kami, ada yang bertanya bagaimana kabar lengan Hanif tapi Hanif tak menjawab, malah aku yang menjawab. Dia itu seperti orang kesetanan saja.
"A, pelan-pelan!" Tegurku sambil menarik tangan kanannya. Di depan masih banyak orang, lagi pula ini pesawat bukan metro mini yang turunnya harus berdesak-desakan.
"Kebelet pipis," katanya menarik tanganku lagi, itu membuat beberapa pengunjung tertawa. Di dalam pesawat juga ada kamar mandi, kenapa tadi tidak bangun saja?
Turun dari pesawat, aku menunggu Hanif di depan toilet pria di bandara Soekarno Hatta. Beberapa kali masih disapa, bahkan satu dua ibu-ibu muda bertanya mana suamiku. Hem, ibu-ibu zaman now, tahu banget berita terupdate.
"Kapan nih rencana isi?" Tanya salah satu Ibu-ibu yang katanya juga temen Mama.
Tak banyak kenal teman Mama aku ini, beberapa iya, itu pun karena Ibu juga kenal. Kalau yang ini, rasanya tidak pernah bertemu. Dari gaya dan tampilan memang lebih muda dari Mama, lebih modis dan lebih sosialita dari Mama.
Tunggu, apa pertanyaannya? Isi? Aku tahu maksudnya Tante rempong ini, tapi haruskah bertanya semacam ini? Jatuh cinta saja belum sempat kenapa sudah ditanya kapan isi.
Aku tersenyum singkat.
"Eh Tante," sapa Hanif keluar dari Toilet Pria.
Dia menjabat tangan ibu-ibu ini satu persatu, ada tiga ibu-ibu yang entahlah tidak aku kenal sama sekali. Hanya satu orang saja yang mengatakan teman Mama, yang lainnya mungkin teman dari temannya Mama. Ah, pusing lah.
"Kenalin, Tan, istrinya Anif," merangkulku dari belakang.
Ibu itu menampik tangan kiri Hanif, membuat dia mengaduh dan aku panik karenanya. Sampai tangan kananku hampir menepis tangan ibu itu. "Tante tahulah, di Instagram kan sudah banyak berita tentang kalian. Apalagi dia juga peraih Emas Asian Games, ah tahulah Tante itu."
Aku tersenyum saja.
"Tadi Tante sudah tanya sama istri kamu, kapan atuh mau isi? Eh istrimu cuma senyum. Lha kamu gimana, Nif?"
Hanif yang tadinya tersenyum lebar, sampai semua barisan giginya terlihat sempurna, sekarang dia redupkan menjadi senyum kaku. Rasakan saja sekarang pertanyaan dari Ibu-ibu ini. Kalau bisa jawab, keren berarti lah.
![](https://img.wattpad.com/cover/163045872-288-k941795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
FanficDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...