Empat

3.1K 144 2
                                    

Cuaca siang yang terik membuat langkah Desiva seperti dalam lomba jalan cepat. Jalanan sepi. Hari ini tepat dua tahun Kakaknya meninggal. Hatinya tergerak untuk ziarah ke makamnya. Jarak anatara pemakaman dan sekolah hanya beberapa ratus meter.

Di sebuah warung kecil, Desiva mampir sebentar seperti biasa untuk membeli sebotol air mineral. Ia sempat meminum beberapa teguk sebelum melanjutkan langkahnya.

Ia melanjutkan kembali langkahnya menuju area pemakaman. Menyusuri setiap jalan sempit yang dipenuhi semak belukar, sudah biasa ia lewati selama dua tahun kebelakang.

Setelah sampai di makam Kakaknya, seperti biasa Desiva akan mendoakan Kakaknya terlebih dahulu. Selesai berdoa, Desiva menutup mata nya sejenak.

Hari ini, tepat pada tanggal 3 April, semuanya terjadi.

Hari ini, kejadian yang dialami ia dan Kakaknya benar-benar tak pernah diduga.

Tapi apakah ada hari-hari esok yang sama dengan hari ini?

Desiva terduduk di depan pusara Kakaknya. Desiva mengusap nisan Kakaknya dan menciumnya. Sesaat Desiva tersentak ketika ada seseorang berdiri di sampingnya.

"Rian?" Rian tersenyum kecil.

"Ayo kita berdoa sama-sama buat Fatih." ajak Rian.

"Aku sudah berdoa tadi." jawab Desiva dengan nada dingin. Desiva melangkah dan menjauhi Rian. Dia sangat membenci Rian.

Rian berusaha mengejar langkah Desiva dan menggenggam tangan Desiva.

"Tolong lepasin tanganku!"

"Kita harus bicara, aku akan jelaskan semuanya."

"Aku gak bisa!"

"Aku akan bicara semuanya, Va. Aku janji bakal bicara yang sebenarnya ke Om, Tante dan semua keluarga kamu."

"Tolong lepasin tangan aku!" bentak Desiva tegas.

Dengan terpaksa Rian melepas tangan Desiva dan membiarkannya pergi. Kali ini Rian tak bisa menahannya. Dia mengerti, Desiva masih shock dengan kenyataan ini.

***

Hari-hari berlalu begitu cepat. Dua minggu berlalu sudah, itu berarti Ujian di sekolah Desiva sudah selesai.
Hari ini adalah hari kelulusan bagi siswa kelas 9 SMPN 3 Bandung.

Desiva duduk di kursi panjang yang ada di taman belakang sekolah. Ia sedang menunggu Nayla sambil membuat puisi didalam laptop yang ada di pangkuannya.

--Desiva Prov--

Aku tak tau harus bagai mana?
Ku tanya pada siapa lagi?

Aku butuh jawaban bukan diam tanpa alasan

Ribuan kata yang ku tulis tak mampu lagi ungkapkan segalanya

Ijinkan aku melihat senyum itu kembali walau senyum itu hanya abu abu

dan biarkan aku pergi mengambil jalanku sendiri
Biarkan kepalan tangan ini menggengam erat bayanganmu yang seperti angin dalam hidupku

walau jalan ini di penuhi kerikil tajam yang selalu menghantamku
aku akan tetap menyusurinya

Aku mengetik tombol enter pada laptopku setelah kurasa cukup untuk bergelut dengan pikiranku.

DesivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang