Limapuluh Tiga

1.6K 80 2
                                    

"Assalamualaikum, maaf ya telat." ucap Aban saat ia baru saja tiba di warung kopi milik Ahkam.

"Waalaikumussalam." jawab Ahkam, Azmi dan Dhuha kompak.

"Gak papa, Ban, kita juga baru nyampe 5 menit yang lalu kok." ucap Azmi.

"Syukur deh kalau gitu." Aban duduk menyusul ketiga nya.

"Ada apa kamu ngajak kita ketemuan? Kangen ya sama Kakak?" ujar Ahkam percaya diri.

Aban tersenyum lalu menggeleng. "Aban mau ngasih sesuatu sama kalian." ia memberikan sebuah kertas berwarna abu tua yang terbungkus rapi oleh plastik.

"Apa ini, Ban?" tanya Dhuha. Ia membolak-balik sebentar kertas itu, lalu matanya bergerak lincah membaca setiap kata di dalam kertas itu.

"Ban! Kamu mau nikah?" tanya Azmi keras.

Mata Azmi melebar ketika melihat nama yang tertera sebagai pendamping Aban.

"Dan itu sama DESIVA? Ukhty Jutek?" lanjutnya.

"Aku gak salah baca kan, Ban?" Dhuha ikut bersuara. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.

Aban mengangguk seraya tersenyum. Entah kenapa, ia sangat bersemangat setelah Desiva menerima lamarannya.
"Kenapa kamu gak cerita sama kita?" tanya Ahkam.

"Bentar-bentar, 3 minggu lalu kamu pernah bilang ke kita kalau kamu berniat mengkhitbah seorang wanita. Ternyata wanita itu, Desiva?" suara Dhuha berubah menjadi dingin. Membuat Azmi dan Ahkam menatapnya heran.

Aban mengangguk sebagai jawaban. "Maaf, aku sempat merahasiakannya pada kalian bertiga." ucap Aban merasa bersalah.

Dhuha tersenyum miring. Mendengar pernyataan Aban yang terlihat sangat bersemangat membuat hati nya terasa sakit. Apalagi saat ia mendengar jikalau Desiva, gadis yang selama ini ia 'cintai' dalam diam, menerima lamarannya. Dan mereka akan menikah minggu depan. Saat ini hatinya tersayat sempurna. Gadis yang ia kagumkan akan menikah dengan oranglain. Bukan. Bukan oranglain, melainkan sahabatnya sendiri.

Dhuha berdiam diri saat Azmi dan Ahkam mengucapkan selamat kepada Aban. Ia tidak berniat untuk mengucapkannya. Dirinya tidak ingin munafik. Hatinya hancur.

Aban mendongak melihat kepergian Dhuha. Membuat alisnya berkerut.

"Dhuha kenapa, Mi, Kak?" tanya Aban. Ahkam dan Azmi saling bertukar pandang. Tak menjawab pertanyaan Aban.

Mereka berdua sudah tahu kalau hati Dhuha pasti sudah hancur sekarang. Dhuha pernah cerita kepada Ahkam dan Azmi jikalau ia mencintai Desiva dan berniat akan mengajaknya taaruf setelah dirinya lulus S2 nanti. Namun, sepertinya niat yang Dhuha bangun tinggi-tinggi harus ia hancurkan karena sebentar lagi Desiva akan menjadi milik Aban. Dia kalah saing dengan sahabatnya sendiri.

"Apa Dhuha marah karena aku baru cerita sekarang?" pertanyaan Aban membuat Azmi dan Ahkam tersadar dari pikirannya.

"Kamu tenang aja, Ban. Dhuha gak mungkin marah, kayaknya dia sedikit kaget." jawab Kak Ahkam menenangkan, Aban mengangguk mengerti.

"Ohya, bagaimana dengan acara tunangan Kak Ahkam? Berjalan lancar 'kan? Maaf ya, Aban gak bisa dateng karena bentrok sama acara wisuda." ucap Aban meluruh sedih.

Ahkam tersenyum sekilas, "Kamu nggak usah khawatir, Ban. Alhamdulillah acaranya berjalan lancar, maaf juga karena Kakak gak bisa dateng pas kamu wisuda."

Aban mengerutkan alisnya melihat ekspresi Ahkam yang sepertinya tidak terlalu senang dengan pertunangan yang sudah dilaksanakan olehnya.

"Kok mukanya lesu sih, Kak? Harusnya seneng dong, kan impian Kakak buat jadi Imam Ilma sudah terkabulkan." kata Aban meski sedikit ragu.

DesivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang