Empatpuluh Lima

1.6K 103 5
                                        

Kritis.

Itulah kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Dokter saat Desiva telah selesai diperiksa.

"Nona Desiva mengalami Hipotermia yang disebabkan karena terlalu lama kedinginan di dalam air. Hipotermia bisa menyebabkan aliran darah menyempit, sehingga pasien dapat mengalami kebingungan, halusinasi, bahkan amnesia saat terbangun nanti. Dan hal terburuknya, sekarang ini kondisi pasien sangat kritis memungkinkan ia akan mengalami koma." papar Dokter.

"Koma? Berapa lama Dok?" tanya Abuya.

"Kalau sampai jam 6 Nona Desiva belum terbangun, dia akan mengalami koma yang berkepanjangan Pak."

Penuturan Dokter membuat Ilma jatuh tersungkur memeluk kedua lututnya menangis tergugu di lorong rumah sakit. Kata yang keluar dari mulut Dokter sungguh membuat hatinya hancur redam seperti dihujam batu yang sangat besar.

Tak jauh dari tempat Ilma duduk, Dhuha berdiri memperhatikan tubuh Desiva yang terbaring lemah dengan wajah yang sangat pucat. Hatinya sakit ketika melihat tubuh gadis itu ditempeli banyak sekali peralatan medis. Ingin sekali ia menggantikan posisi gadis itu agar ia tidak merasakan rasa sakit tersebut.

Sedangkan Mama Desiva sudah pingsan sejak awal. Ilma tau kalau Mama nya sangat menyayangi Desiva. Begitu juga Papanya, saat ini yang bisa Papanya lakukan hanya menangis dalam diam. Menatap lorong rumah sakit dengan tatapan kosong.

Ilma masih saja memeluk kedua lututnya. Ia menangis tergugu gugu dengan wajah yang ditenggelamkan di antara lutut. Kini ia merasakan sesak yang menghujam tepat di dadanya. Hatinya berdenyut sakit. Sahabat yang bahkan sudah ia anggap sebagai adiknya harus terbaring kaku di ruangan ICU.

"Kenapa Allah jahat banget sama aku? Dulu Allah mengambil Fatih, apa sekarang Allah juga akan mengambil Desiva? Kenapa Ya Allah? Kenapa Engkau berikan orang-orang yang sangat baik kepadaku jika kau akan mengambilnya kembali secepat ini? Kemana lagi aku harus bersandar kalau Desiva tak ada? Mungkin aku akan berteman dengan sepi kalau Kau mengambilnya sekarang."

Mba Gita berjalan menghampiri Ilma, mengangkat bahunya kemudian membawa tubuh Ilma ke dalam pelukannya. Membiarkan tangis Ilma pecah disana. Tangannya mengusap lembut punggung Ilma. Perih di hati Ilma sama halnya dengan perih yang ia rasakan. Melihat sahabat yang sudah ia anggap adiknya sendiri terbujur kaku membuatnya sangat terpukul. Desiva adalah sahabat baru yang baik sekali padanya.

"Mba."

"Iya, Ma?"

"Apa Desiva akan baik-baik saja?"

"Tentu Ma. Desiva pasti akan baik-baik saja, ia pasti sembuh. Mba tau kalau Desiva anak yang kuat."

"Benarkah?" Ilma melepaskan pelukan Mba Gita dari tubuhnya.

Mba Gita mengangguk mantap, "Berhentilah menangis. Sekarang mending kita berdo'a yang terbaik aja buat Desiva."

Ilma mengangguk lemah lalu menghapus air matanya. Mba Gita, Ilma dan yang lainnya memutuskan pergi ke mushola rumah sakit untuk melaksanakan Sholat Dzuhur seraya berdo'a meminta yang terbaik kepada Allah.

***

-Desiva Prov-

Mataku terpejam.

Tubuhku rasanya ringan seperti sedang melayang.

Kupaksakan untuk membuka mata. Tepat saat aku sudah terjatuh diatas tanah.

Bukan. Sepertinya ini bukan tanah. Ini seperti gurun pasir. Aku melihat ke sekeliling ku, banyak sekali cahaya datang dari setiap sudut. Detik selanjutnya cahaya itu mulai memudar dan menyisakan satu cahaya dari objek yang lumayan jauh didepanku.

DesivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang