Sembilan bulan kemudian
Pagi ini di rumah sepasang suami istri bising sekali karena suara televisi yang menayangkan berita. Seorang pria mengelus kepala wanita di pangkuannya yang sedang membaca majalah nama-nama bayi. Pria itu terus tersenyum walau sang istri terus saja mengoceh.
"Jadi, kamu setuju kalau anak kita di kasih nama apa?" tanya nya.
Pria itu nampak berpikir sejenak. "Ikan kamu lupa belum aku kasih makan, sayang." dengan sigap tangannya memindahkan kepala sang istri pelan kemudian beranjak menghampiri ikan yang dua minggu lalu dibelinya karena kemauan sang istri.
Mendengar itu, sang istri spontan berdiri.
"Aban! Kenapa sayang banget, sih sama ikannya? Kalau aku kenapa-napa gimana? Kalau aku jatuh gimana? Kalau dedek bayi di dalem perut aku kenapa-napa gimana? Kamu mau bayi kembar dua kita jadi satu?!" ocehnya.
Pria yang disebut Aban menghentikan langkahnya. Ia menatap Desiva, istrinya yang kini tengah mengandung usia 7 bulan. Semenjak itu, Desiva sering sekali mengucapkan hal-hal yang tak masuk akal. Aban mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia rasa, akhir-akhir ini istrinya lebih banyak bicara dan marah-marah. Jika Aban membuatnya sebal, pasti selalu mengaitkannya dengan 'dedek bayi'.
"Iya, iya, Maaf. Jangan gitu dong. Ucapan itu do'a, sayang."
Aban kembali duduk. Ia menepuk-nepuk pahanya. "Sini, bobo lagi."
"Enggak, mau."
"Sayang ngambek mulu. Jangan ngambek terus, entar aku cium." bisik Aban.
Desiva memukul lengannya.
"Aduh, sakit sayang."
Sedetik kemudian Aban tersenyum lalu memeluk istrinya dari samping. Desiva yang malu-malu kucing akhirnya tersenyum.
Jantung Desiva berdebar-debar. Pipinya memanas. Wajah Aban sangatlah dekat. Desiva hanya membuang muka. Aban menyebalkan, ia terus memaksa agar mata mereka saling menatap.
"Hei." Aban menjadi gemas, ia terus tersenyum saat menggoda Desiva yang enggan menoleh. "Hei..Hei"
Aban tertawa. Ia mencolek pipi sang istri. "Pipi kamu kok anget banget, kenapa? Grogi ya di peluk orang ganteng?"
"Aban.. Jangan gitu." Desiva yang sedari tadi membuang muka, kini balas memeluk Aban kemudian menyembunyikan wajah ke dekapannya. Aban tertawa lagi.
"Aku malu."
"Kenapa harus malu?"
Desiva tak menjawab, ia melepas pelukannya lalu mendorong bahu Aban pelan.
"Udah mandi sono, katanya kamu ada urusan di kantor hari ini kan?"
Aban menaikan alis. "Nanti aja deh, aku masih mau manja-manjaan sama istri aku yang cantik ini."
"Ih, udah sana ah."
"Mandiin asal ya."
Desiva melotot. "Apaan! Emangnya kamu anak kecil pake di mandiin. Udah sana mandi!"
"Gamau."
"Yaudah kalau gamau, aku juga gamau ngomong sama kamu sehari full." Desiva memangku tangannya di dada.
"Jangan gitu dong sayang, tadi becanda kok. Iya, sekarang aku mandi." Aban mengecup singkat kening Desiva sebelum pergi ke kamar mandi. Pipinya kembali memanas karena malu.
Tak berselang lama, Aban keluar dengan rambut yang sedikit basah. Ia melihat istrinya yang sedang bercermin.
"Aku aneh kalau kayak gini. Tapi Aban masih sayang kan?" tanya Desiva, ia menatap bayangan dirinya di depan cermin dengan perut yang sudah membuncit.