Duapuluh Tujuh

1.8K 110 4
                                    

Desiva berjalan menyusuri koridor dengan tatapan yang kosong. Sesekali tangannya ia lambaikan ke air hujan yang turun dari genting yang menutupi koridor ponpes.

Ia berlari kearah gerbang ponpes dan keluar dari pondok untuk menikmati air hujan yang turun sedikit deras. Ternyata alam pun merasakan kepedihan yang dialaminya saat ini. Desiva sangat suka hujan, karena dari hujan kita bisa belajar bahasa air yang berkali-kali jatuh tapi tak sedikitpun mengeluh pada takdir. Begitu menurutnya.

Ia memutar tubuhnya meresapi setiap tetes air hujan yang membasahi wajahnya yang tertutup oleh cadar. Ya, kini ia sedang menangis. Namun hujan telah menyamarkan tangisannya.

Baju syar'i yang sekarang dipakainya telah basah kuyup. Untung saja sekarang semua ustadz dan ustadzah nya sedang rapat, jadi ia tak perlu khawatir akan dimarahi oleh mereka.

"Kenapa anti hujan-hujanan?" suara seseorang membuat Desiva menghentikan aktivitasnya. Ia melihat ada seseorang yang berdiri tegak lumayan jauh dihadapannya sambil memegang payung.

Deg! Ia tertegun saat melihat orang yang ada dihadapannya.
'Dia lagi, kenapa harus dia Ya Tuhan' batin Desiva menjerit.

Baru saja Desiva akan melangkah tiba-tiba ada sebuah sepeda motor melaju kencang kearahnya.

TIIITTTT....

Desiva membelalakan matanya, ia ingin menghindar tapi kakinya terasa kaku untuk digerakan. Dia hanya bisa pasrah dan menutup matanya dengan tangan.

Dengan secepat kilat seorang laki-laki yang ada diseberang Desiva membuang payungnya dan berlari kearah Desiva. Ia menarik tangan Desiva sehingga membuat keduanya terjatuh kepinggir jalan.

Rasanya badanku melayang. Aku merasa sakit diseluruh tubuhku. Apa Allah sudah mengambil jasad ku? Atau ini hanya mimpi?

"Kamu baik-baik aja?" tanya seseorang membuyarkan ambisinya. Refleks Desiva membuka mata dan mendapati seseorang yang terduduk disampingnya.

Faktanya, dia telah menyelamatkan Desiva dari sepeda motor yang hendak menabraknya tadi.

"Hey, kenapa melamun? Kamu baik-baik aja kan?" tanyanya lagi.

Desiva tersadar dari lamunannya, "I-iya aku baik-baik aja," jawabnya terbata.

"Lain kali kalo jalan hati-hati, jangan asal nyebrang aja. Untung tadi ada aku, kalo nggak kamu bisa ketabrak," ucapnya.

"Iya iya, maaf. Aku tadi gak liat ada motor,"

"Yaiyalah gak liat, orang daritadi kamu ngelamun aja," cibirnya.

"Sebenernya kamu ikhlas gak sih nyelamatin aku?" tanya Desiva sedikit kesal.

"Ya-ya ikhlas lah,"

"Yaudah gausah marah-marah kali," sewot Desiva.

"Lah siapa yang marah, aku itu cuman nasehatin biar nanti gak diulangi lagi," timpalnya tak kalah sewot.

Desiva mencebikkan bibirnya, "Iya iya, makasih ya udah nolongin," ucap Desiva beranjak pergi.

"Eh-eh mau kema... Aww," lelaki itu meringis saat ingin berdiri.

Refleks Desiva membalikan badannya dan melihat telapak tangan lelaki itu yang berdarah.

"Bukannya bantuin malah diliatin," gerutu lelaki itu.

"Manja banget sih, sini aku bantuin," Desiva mengambil payung yang tadi dipakai oleh lelaki itu lalu menutupnya dan disodorkan kepada lelaki tersebut. Kemudian lelaki itu memegang ujung payung satunya dan berdiri dibantu oleh Desiva yang memegang ujung satunya lagi.

DesivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang