Limapuluh Dua

1.6K 85 4
                                    

--Aban Pov--

Dua minggu setelah wisuda...

Matahari bersinar lebih terang dari biasa nya siang ini. Mungkin karena matahari ikut senang dengan niatku yang akan mengkhitbah seseorang.

Aku sudah memikirkannya bulat-bulat selama beberapa minggu ke belakang.

Sekarang aku sudah menyelesaikan S1 ku di Universitas perguruan tinggi di daerah tempat tinggalku selama satu tahun lebih. Dan kini aku sudah melaksanakan wisuda minggu kemarin.

Dan Alhamdulillah nya lagi, aku langsung mendapatkan pekerjaan setelahnya. Betapa bahagianya aku, walau hanya bekerja di sebuah cabang perusahaan kecil.

Aku mengotak-atik ponselku untuk mengirimkan pesan kepada Azmi, Kak Ahkam dan Dhuha. Mereka sudah aku beritahu sebelumnya mengenai khitbah ini, tapi aku belum memberitahukan wanita itu kepada mereka.

"Aban, kamu sudah siap, Nak?" Umi membuka pintu kamarku yang memang tidak di kunci.

"Insha Allah siap, Umi."

"Yasudah kalau begitu ayo, kita berangkat sekarang. Makin siang makin macet." Umi menggandeng tanganku menuju mobil yang sedang di panaskan oleh Abi. Tampaknya mereka sangat semangat.

Siang ini akan menjadi siang yang sangat menegangkan bagiku. Aku merasa sangat gugup rasanya. Takut akan resiko yang di dapat nanti ketika mengkhitbah.

"Kamu harus siap, Ban. Apapun jawaban yang nanti wanita itu berikan, kamu harus menerimanya. Jika dia menolak, jangan pernah berkecil hati. Mungkin dia memang bukan jodohmu." ujar Abi seperti sudah tau apa yang sekarang aku pikirkan, aku mengangguk.

"Kamu tahu rumahnya dimana?" tanya Umi.

Aku mengangguk, "Tahu Umi. Kira-kira butuh waktu 1 jam dari sini buat sampe ke rumahnya."

"Kalau tahu begitu, berarti kamu dan dia sudah saling kenal dong?" tanya Abi.

Aku sekali lagi mengangguk, namun kali ini sedikit ragu.

"Mungkin bisa di bilang begitu, Abi." ucapku sambil nyengir.

"Masih belum mau ngasih tau juga nih?" sindir Umi, aku terkekeh kecil.

Entahlah, aku masih belum yakin dengan niatku ini. Ini mungkin terbilang terlalu cepat, tapi aku tidak ingin berlama-lama lagi terjebak dalam perasaan yang tidak diperbolehkan. Jujur saja, sejak pertama kali bertemu dengannya, hatiku selalu merasa tentram bersamanya.

Perihal di terima atau tidak, aku sama sekali tidak keberatan. Toh, mungkin Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukku, meski bukan bersamanya.

Tak terasa kami sudah sampai di depan gerbang rumah wanita itu. Kami memasuki halaman rumahnya setelah mendapatkan izin dari satpam yang berjaga, lalu mengetuk pintunya.

***

--Author Prov--

Tokk..tokk..tokk...

"Assalamualaikum."

Desiva menghentikan aktivitas menulisnya, ia menatap pintu depan yang diketuk. Sepertinya akan ada tamu, pikirnya.

"Biar Iva aja yang bukain, Ma." Desiva menghentikan langkah Mama nya menuju pintu.

Mama mengangguk, "Yasudah cepat sana kamu bukain, Mama mau ngelanjutin bikin kue pesenan yang belum selesai." ucapnya, lalu kembali menuju dapur.

DesivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang