Pesantren?! Desiva serasa disambar petir disiang bolong mendengar kata itu terlontar dari mulut Papa. Ia yakin kalau ia tidak salah dengar. Desiva berusaha mendengar lanjutan pembicaraan orang tuanya untuk meyakinkan dirinya dengan apa yang ia dengar.
"Mama sih setuju-setuju saja, tapi apa gak sebaiknya dia di masukkan ke pesantren yang ada di daerah Bandung saja? Lagipula di Bandung banyak kok pesantren-pesantren yang bagus." ucap Mama.
"Papa akan tetap memasukkan dia ke pesantren yang ada di Jawa Timur, Ma."
"Jawa Timur itu jauh sekali Pa, nanti kalo ada sesuatu yang tidak-tidak terjadi sama dia gimana? Mama khawatir."
"Papa sudah percayakan sama sahabat Papa. Dia yang punya pesantren itu."
"Tapi bagaimanapun__" Mama belum sempat menyelesaikan ucapannya karena Papa langsung memotongnya.
"Sudahlah, Ma. Sekarang sudah malam mending kita bicarakan lagi besok." dan hanya dijawab dengan anggukan pelan oleh Mama.
Deg!
Jawa Timur?
Belum hilang rasa terkejutnya dengan keputusan yang dibicarakan Papa dan Mama, tapi Desiva tak bisa melawan apalagi itu keputusan Papa nya.
'Sebegitu bencinya kah Papa sama aku?' batin Desiva.
Desiva mencoba menghela napas dan mengendalikan hatinya yang mulai tidak karuan. Ia urungkan niat untuk menghampiri Papa dan Mama.
Desiva bergegas pergi ke kamar. Tiba dikamar, Desiva langsung mengunci pintu. Ia hempaskan tubuhnya di kasur. Seketika ada rasa sesak yang memuncak didadanya.
Rasanya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya meluapkan kegundahan dihatinya yang mulai berujung pada kekhawatiran dan kekecewaan.
Tapi ia mencoba mengendalikan hatinya. Ia coba menenangkan dirinya, berusaha meyakinkan dirinya kalau semua itu adalah keputusan yang baik baginya karena ia memang tidak bisa menyangkalnya.
Akhirnya dia memutuskan pergi ke kamar mandi untuk berwudhu dan mengambil Al-Qur'an berwarna pink pemberian dari seseorang yang tidak mungkin dilupakan oleh Desiva untuk lebih menenangkan dirinya.***
Desiva terlihat melamun didalam kelas sambil memainkan pulpen miliknya, Nayla yang sedari tadi ada disampingnya menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Desiva. Nayla sudah hafal betul perangai Desiva. Ketika ia sedang ada masalah, Nayla orang pertama yang bisa membaca kegundahan hati Desiva.
"Kamu kenapa lagi?" tanya Nayla sambil mengambil pulpen yang sedari tadi dimainkan Desiva.
Desiva menghela napas panjang. Ia mengalihkan pandangannya menuju jendela dan kembali melamun.
"Kalau kamu punya masalah jangan dipendam. Mending cerita, setidaknya itu bisa bikin kamu lega seperti bersin yang melegakan."
Bersin?
Desiva tergelitik mendengar perumpamaan dari mulut Nayla.
"Tebak aja sendiri apa masalah aku. Biasanya kamu orang pertama yang selalu tahu masalah aku." ucap Desiva sembari sedikit terkekeh.
"Heh, aku emang bisa ngeliat kalau kamu punya masalah, tapi aku bukan cenayang atau peramal yang bisa baca pikiran kamu. Kalau aku tahu, aku juga gak bakal nanya."
Desiva tidak berkomentar. Tatapan matanya kosong pikirannya menerawang jauh entah kemana.
"Kamu ada masalah lagi sama Papamu?" Desiva menggeleng pelan dan kembali diam.