--Desiva Pov--
Saat ini aku berada di kamarku bersama Ilma yang sudah selesai merias wajahku. Aku menatap diriku di cermin yang sudah terlihat lebih cantik, dengan balutan dress berwarna putih dan kerudung syar'i beserta niqabnya. Bahkan, aku sendiri tidak percaya bahwa bayangan di cermin itu adalah aku.
Ilma merapihkan riasan mahkota di kepalaku. Aku tersenyum, ia terlihat tampak bersemangat untuk meriasku.
"Finishing!" soraknya senang.
"Terimakasih banyak, Ma. Ternyata kamu pinter banget makeup-in aku sampe cantik gini." ucapku, Ilma terkekeh.
"Sama-sama, Desiva sayang. Semoga lancar ya." Ilma memelukku dari samping.
Matanya tampak berkaca-kaca ketika memelukku.
"Va, kalo nanti kamu udah Halal sama Aban, jangan sungkan buat temuin aku ya. Jangan pernah lupain aku." suara Ilma berubah lirih.
Aku mengeratkan pelukanku. "Kamu jangan pernah berpikir kalau aku bakalan lupain kamu, Ma. Kamu itu sahabat aku dari kecil, gak mungkin aku lupain kamu."
"Janji ya?"
"Inshaa Allah."
Ilma melepaskan pelukan kami lalu menghapus air matanya.
"Kamu gak boleh nangis, makeup nya jadi luntur lagi kan." dengan sigap, Ilma kembali berkutat dengan wajahku.
"Melankolis banget deh kita." aku terkekeh, diikuti oleh Ilma.
Aku dan Ilma menghentikan kekehan ketika pintu kamar terbuka dan menampilkan seseorang yang juga sudah tampak siap dengan makeup natural nya.
"MasyaAllah, anak Mama cantik sekali." puji Mama, aku tersenyum di balik niqabku.
"Alhamdulillah, makasih, Ma."
Mama terlihat mengulum senyum, "Aban sudah datang, sayang. Kamu sudah siap?"
"Inshaa Allah siap, Ma."
"Kamu sabar dulu ya, setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, kamu baru boleh keluar." Mama tersenyum jahil.
"Yah, masih lama gak ijab nya, Tante-Mama? Iva udah gak sabar pengen ketemu calon Imam katanya." Ilma menyahuti.
Aku mencubit lengannya pelan, "Ih, apaan banget sih, Ma." cicitku.
Mama dan Ilma tertawa dengan tingkahku.
***
--Author Prov--
Aban terus membenarkan duduk nya dengan gelisah untuk mengusir rasa gugup. Di hadapannya, Niken dan Abuya sebagai penghulu, mengulum senyuman geli melihat tingkah Aban. Hal itu membuat Aban bertambah diselimuti rasa malu. Aban tiba-tiba mengingat hari dimana ia melamar Desiva. Dalam dua puluh satu tahun selama hidupnya, baru hari ini ia dilanda rasa gugup berat. Hari dimana ia akan melafalkan ijab kabul untuk menghalalkan seorang wanita.