Tiga

3.3K 161 0
                                    

Setelah lama menangis, Desiva memutuskan untuk menelpon Ilma, sahabatnya. Rasanya Desiva rindu dengan Ilma. Ia mengambil ponselnya di atas nakas kemudian menelpon Ilma.

"Assalamualaikum, Ma." salam Desiva ketika telpon tersambung.

"Waalaikumussalam, kenapa Va? Kok suaranya kayak yang abis nangis?" tanya Ilma khawatir.

"Aku pengen cerita, Ma. Nanti sore kamu mau pergi Madrasah gak?"

"Iyalah pergi. Kemana aja kamu, baru mau Madrasah sekarang?"

"Kemaren-kemaren aku banyak banget tugas. Yaudah, sekarang aku ke Madrasah ya, kamu tungguin disana."

"Oke. Hati-hati dijalan, jangan banyak melamun kalo jalan."

"Iya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Setelah panggilan terputus, Desiva bergegas berganti pakaian dan pergi ke Madrasah setelah meminta izin kepada Mama nya.

***

Siang ini, cuaca terlihat mendung seperti hati Desiva. Langkah kaki Desiva ayunkan dengan cepat karena awan mulai tampak akan menumpahkan hujan. Dia ingin cepat-cepat tiba di Madrasah.

Desiva menangkap sosok Ilma yang hendak berjalan menuju Madrasah.
Buru-buru Desiva mendekati dan memegang tangan Ilma. Ilma terkejut melihat Desiva yang memegang tangannya.

"Astagfirullah, Iva, kamu ngagetin aja." ucap Ilma sedikit kaget.

"Maaf, Ma." jawab nya sembari cengengesan.

"Yaudah masuk dulu yuk."

"Iya ayo."

Ketika sampai di Madrasah Desiva dan Ilma langsung masuk ke dalam kelas. Kelas di Madrasah tempat mereka mengaji disatukan karena murid di Madrasah terbilang cukup sedikit. Tapi untuk kelas ikhwan dan akhwat tetap dipisah.

Setelah selesai mengikuti pelajaran di Madrasah, Desiva dan Ilma pergi ke taman belakang Madrasah untuk bercengkrama lebih banyak.

Setelah tiba di taman, Desiva menghela napasnya. Berat. Ini terasa sulit baginya untuk mondok di pesantren. Desiva menceritakan semuanya kepada Ilma.

"Jujur ya, Va, aku juga gak mau jauh dari kamu. Kamu udah aku anggap sebagai adikku sendiri, tapi apa salahnya kan kamu coba dulu, siapa tau kamu betah disana. Aku yakin Om dan Tante juga gak akan asal buat keputusan." Ilma menghela napas sejenak.

"Mereka pasti mempertimbangkan semuanya matang-matang dan mungkin dengan memondokkan kamu itu yang terbaik bagi mereka. Coba dulu aja, kalau pada akhirnya kamu emang ngerasa kurang nyaman dengan suasana pondok, kamu bisa ngomong baik-baik ke mereka. Om dan Tante juga berhak buat menentukan masa depanmu, tapi aku yakin Om dan Tante juga enggak akan maksa kalau emang kamu gamau." ucap Ilma panjang lebar.

Sejenak pikirannya melayang, ia mencoba mencerna nasihat Ilma. Desiva merasa hatinya mulai lega. Senyum mulai mengembang di wajah Desiva.

"Kalau situasi kayak gini kamu sangat dewasa, tapi kenapa kamu bisa kayak anak kecil kalau ketemu sama Kak Raihan, Ma?" ucap Desiva meledek Ilma.

"Wah, kamu mengalihkan pembicaraan dengan topik yang sangat salah!" ujar Ilma yang terlihat sewot.

Tiba-tiba pikiran Ilma kembali mengingat ucapan Desiva. "Aku enggak terima kamu samain dengan anak kecil, hey!"

Desiva tertawa melihat ekspresi Ilma yang terlihat sewot.

"Jelaslah kamu kayak anak kecil. Abisnya berantem mulu setiap ketemu dan enggak pernah ada yang mau ngalah." seru Desiva sembari tertawa.

DesivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang