Matahari sudah meninggi tepat berada di atas kepala. Desiva menggeliat kecil, merasa terusik dengan sinar matahari yang masuk ke jendela kamarnya. Sesaat matanya mengerjap pelan. Ia mendudukan dirinya di kasur, lalu melihat jam dinding yang ada di kamarnya. Dilihatnya jarum jam yang menunjuk ke angka 1 lebih 30 menit. Kini matanya terbuka sempurna.
"Astaghfirullah, aku telat." mulutnya tak berhenti merutuki dirinya.
Ia berlari ke arah kamar mandi yang ada di kamarnya untuk berwhudu kemudian segera melaksanakan Sholat Dzuhur. Meski tengah terburu-buru, tetapi ia tetap melaksanakan Sholat dengan khusyuk.
Seusai menunaikan Sholat Dzuhur, ia mengganti pakaiannya dengan gamis syar'i berwarna biru langit dipadukan dengan jilbab berwarna abu yang menutupi dadanya. Desiva menyapukan sedikit bedak tabur lalu segera memakaikan niqab yang sewarna dengan gamis yang ia gunakan.
Setelah dirasa cukup, ia keluar kamar dan menuruni tangga dengan berlari kecil. Siang ini ia sudah janji kepada Ilma untuk menemaninya membeli buku bersama dengan Kak Raihan dan bertemu di Kedai Nesca. Tapi kini ia sudah telat.
Desiva melihat jam yang ada di pergelangan tangannya, menunjukan pukul 2. Ia yakin saat ini Ilma sudah berada disana. Sebenarnya Desiva sudah memasang alarm di ponselnya tadi, tapi entah kenapa ia tak mendengarnya.
Ia berjalan sambil berlari kecil ke halte di depan komplek rumahnya untuk menunggu angkutan umum yang lewat. 15 menit sudah ia lewatkan, tapi tak ada satu pun angkutan umum yang lewat jua. Desiva semakin merasa gelisah. Ia sudah telat 30 menit. Akhirnya Desiva memutuskan untuk berjalan sedikit menuju jalan raya yang sedikit ramai, berharap ada angkutan umum yang lewat.
Namun di tengah perjalanan, ia melihat seekor kucing yang berada di tengah jalan. Matanya membelalak sempurna. Bagaimana tidak, tepat beberapa meter dari kucing tersebut ada sebuah motor yang melaju cukup kencang. Tanpa aba-aba, Desiva berlari ke tengah jalan dan berdiri didepan kucing tersebut.
Ia mendengar pengguna motor tersebut mengerem spontan motornya. Terbukti kalau ban motor nya yang berdecit.
"Kamu mau bunuh diri?" pengguna motor tersebut membuka suara dengan nada yang sedikit tegas.
Desiva menggeleng pelan. Ia belum membalikan badannya dari kucing yang berada di depannya. Mungkin Desiva masih shock, jika pengguna motor tersebut telat mengeremkan motornya, mungkin sekarang ia sudah berbaring di ranjang rumah sakit.
"Kamu hampir menabrak kucing ini tadi." ucap Desiva kemudian menggendong kucing yang ada dihadapannya dan berbalik ke arah si pengguna motor.
"Desiva?"
Desiva mengerutkan keningnya heran. Kenapa pengguna motor itu bisa mengenal dirinya?
Seperti tahu kerutan kebingungan yang ditunjukkan oleh Desiva, pengguna motor itu membuka helm fullface yang digunakannya.
Desiva semakin shock kala melihat wajah dibalik helm yang dipakai lelaki di atas motor tersebut. Tiba-tiba jantungnya berdegup melebihi temponya.
"D-Dhuha?" ucap Desiva terbata.
Dhuha mengangguk, "Maaf, tadi aku sedang buru-buru, jadi tidak melihat kalau ada kucing disitu." ucapnya berusaha meminta maaf.
Desiva berusaha menetralkan kembali jantungnya. "I-iya tidak papa."
Desiva melangkah ke tepi jalan. Lalu ia menurunkan kucing tadi di trotoar yang sering digunakan pejalan kaki. Dhuha hanya diam mengamati interaksi Desiva.
"Kucing manis, kamu diam disini ya. Jangan di tengah jalan tadi, bahaya." Desiva mengelus kucing tersebut dengan tulus.