Eight

49.6K 2.4K 35
                                    

Ana membuka matanya perlahan. Entahlah, ia mungkin merasakan pening yang sungguh hebat pada saat ini. Tak lama, mengedarkan pandangannya kesekeliling. Ia sungguh kaget ketika ia berada dikamarnya, bukan di kantin lagi.

Ana memegang dahinya dan memijitnya pelan-pelan. Bukan itu saja yang ia rasakan, perutnya pun seperti merasakan nyeri yang tak tertahankan. Lagi-lagi ia kambuh! Namun, ia tak memiliki nafsu untuk makan sekarang.

Cklek..

Pintu kamarnya dibuka oleh seseorang, tentu saja Ana langsung menatap orang yang datang keruangannya itu. Nampak sekali, Davin berdiri di sana dengan kedua tangannya yang memegang nampan.

"Kamu udah bangun, makan ya. Aku bawa bubur buat kamu." bujuk Davin yang kini meletakkan nampan yang dibawanya diatas meja.

Ana memutar bola matanya malas. Ia sangat tak ingin untuk makan saat ini, apa lagi dengan makanan anak bayi itu. Tentu saja nafsu makannya semakin menurun.

"Nggak nafsu." jawab Ana seadanya.

Davin mendengus kasar. Padahal tadi ia begitu semangat membuatkan bubur untuk Ana, dan Ana sama sekali tak ingin memakannya. Entah kenapa ia merasa kecewa saat ini.

"Kamu yakin nggak mau makan? Aku buat sendiri loh." jujur Davin lagi.

Tentu saja Ana langsung mengernyitkan dahi.
"Lo yang buat, emang lo bisa masak!" remeh Ana.

Davin sedikit terkekeh, dan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Entahlah, ia pun baru pertama kali memasuki area dapur saat ini.

"Enggak juga sih, tapi tolong lah kasih sedikit penghargaan, karena bisa bikin bubur buat kamu." pinta Davin setelahnya.

Ana berpikir sejenak. Betul juga, ia seharusnya menghargai apa yang Davin buat untuknya. Apalagi Davin beru pertama kali memasak, dan itu pun untuknya. Mungkin soal rasa, Ana jangan terlalu mementingkan egonya untuk menolak.

"Oke, tapi hanya satu suap. Gue lagi nggak pengin makan."

Davin menggeleng cepat. "No, kamu harus makan semuanya. Biar aku yang suapin kamu nanti."

Ana hanya mengiyakan saja. Percuma saja ia menolak. Toh yang berada didepan ia sekarang ini adalah Davin, si Mr. Perfect yang harus sempurna sesuai kemauannya.

Davin menyendok bubur yang telah dibuatnya, lalu memasukkan makanan itu kedalam mulut Ana yang sama sekali tak terlalu menganga.

"Gimana rasanya?" tanya Davin yang ingin tahu.

Ana terdiam sejenak. Ada sekelebat rasa aneh dari bubur yang buat di Davin. Tapi apa ya? Namun baru saja ia mengunyahnya, ia langsung memejamkan matanya dan menelannya bulat-bulat.

"Lo udah nyoba rasa bubur buatan lo?" tanya Ana selidik.

Davin menggeleng. "Kenapa? Enak? Iyalah, siapa dulu yang bikin. Davin gitu lohh."

Ana menggelengkan kepalanya pelan. Si tukang pede ketinggian kembali bertingkah, Ana merebut paksa sendok yang dipegang Davin, lalu menyendok bubur itu dan langsung memasukkannya ke dalam mulut Davin paksa.

Ana tersenyum sekilas. "Gimana? Enak bukan? Iyalah, siapa yang bikin coba!"

Lihatlah raut muka Davin sekarang. "Asin banget Na!" ucap Davin yang menampilkan ekpresi kacaunya.

Ana tertawa lepas. "Hahaha.. Suwerr-suwerrr, lucu banget sumpah."

Davin tertegun. Ia menatap Ana yang tertawa tanpa beban di depannya. Mungkin baru kali pertama, ia melihat Ana yang berekspresi seperti itu, meskipun dengan cara ia terkena imbas masakannya.

Namun Davin langsung tersenyum. Entahlah, tawa Ana langsung membuat senyum cerahnya langsung terpancar dari wajahnya.

"Maafin aku Na, aku emang nggak sempet coba masakan aku tadi."

Ana tersenyum penuh. "Tenang aja kali Vin, gue nggak marah kok. Thanks aja karena lo udah buatin gue makanan dengan semampu lo."

Davib menunduk. "Tapi kan.."

Ana memegang bahu Davin dengan tangan kanannya. "Nggak apa-apa kok. Thanks juga karena udah bikin ketawa."

Davin menegakkan kepalanya dan tersenyum. "Nanti aku ganti kok, kamu istirahat dulu ya. Nanti kalau makanannya udah jadi, aku bangunin kamu lagi."

Ana menuruti apa yang Davin ucapkan. Sedangkan dirinya, ia keluar dari kamar Ana dan pergi kebawah, karena masih ada Shasa dan Andra yang masih di sana.

Terlihat Andra yang sibuk dengan ponselnya, sedangkan Shasa? Ia menatap kosong televisi di depannya. Mungkin sedang banyak pikiran saat ini. Mungkin itu yang ada dalam pikirnya saat ini.

"Gimana keadaan Ana Vin?" tanya Andra yang peka dengan kehadirannya.

Davin menampilkan senyuman manisnya. "Dia nggak apa-apa kok, dia gue suruh istirahat tadi."

Shasa yang tadinya menatap kosong sesuatu di depannya, langsung saja tersadar. Ia menoleh kearah Davin, tanpa tatapan bersahabat sama sekali.

"Apa hubungan lo sama Ana?" tanya Shasa to the point.

Davin sekaligus Andra tentu saja mengernyit bingung dengan pertanyaan yang Shasa lontarkan. 

"Maksudnya apa?" tanya keduanya kompak.

Shasa menatap Davin tajam. "Lo ada rasa sama Ana. Sejak kapan? Dari kapan? Kenapa lo sayang sama Ana?" tanya Shasa selanjutnya bertubi-tubi.

Andra tentu saja memilih untuk diam. Sedangkan Davin? Ia langsung gelagapan, bingung harus menjawab apa.

"Gue ada rasa sama Ana sejak SMA. Sejak pertama kali gue ketemu dia di taman, dan rasa itu ada ketika gue dan dia dipertemukan kembali dalam satu bus yang sama ketika sekolah dipagi hari." ujar Davin

Davin terdiam sejenak.  "Dan jika lo tanya kenapa gue bisa sayang sama Ana, gue nggak bisa jawab! Karena apa?  Bukan sayang saja yang gue rasain, tapi juga cinta. Dan rasa itu timbul dihati tanpa adanya sebuah alasan. Rasa itu mengalir begitu  saja, dan rasa itu masih ada sampai sekarang." lanjut Davin setelahnya.

Shasa langsung bangkit dari duduknya. "Jika rasa itu tak butuh alasan, terus ketika lo pergi juga tak butuh alasan untuk Ana kan! Bullshit, gue nggak percaya dengan omongan seorang cowok yang memaknai rasa cinta itu dengan tak adanya alasan."

Shasa mengambil tasnya, lalu bersiap untuk pergi. Davin tentu saja terdiam sejenak, entah mengapa perkataan itu sama seperti yang pernah Ana tuturkan sebelumnya.

Namun, ia langsung tersadar. Kemudian, menatap Shasa yang siap menjauh dari mereka berdua.

"Beri gue alasan, kenapa lo bisa ngomong seperti itu kepada diri gue yang baru lo kenal belum lama ini!" seru Davin setelahnya.

Shasa membalikkan badan. "Cinta saja tak butuh alasan, mengapa gue harus memberi alasan. Gampang bukan!"

Davin mengusap-usap rambutnya kasar, lalu menatap Shasa dengan emosi. Kedua sahabat itu sepertinya sangat kompak, kata-katanya pun sama seperti yang diucapkan Ana kemarin. Namun jika orang yang berada di depannya saat ini bukan seorang cewek, terlebih memiliki hubungan khusus dengan sahabatnya, tentu saja ia langsung meninju orang itu kuat-kuat.

"Terus apa yang harus gue lakuin nanti?" tanya Davin dengan sedikit frustasi.

"Jauhi Ana, jika lo emang nggak berniat untuk menetap sama sekali. Jika lo mau serius, maka gue nggak bakal menyulitkan jalan yang ingin lo tempuh agar dekat dengan Ana." ucap Shasa. "Karena apa? Gue nggak mau Ana terluka lagi, karena pria brengsek itu seperti dulu! Gue mau lihat dia bahagia, nggak lebih dari itu!"

Shasa pergi dari hadapan Davin, diikuti Andra yang juga mengekor dari belakang. Tepat ketika mereka tak terlihat, Davin langsung luruh keatas lantai.

"Jadi apa maksud dia tadi?" tanya Davin untuk diri sendiri. Ia mungusap wajahnya berkali-kali dengan pelan untuk kesekian kalinya.

*****
1058 Kata.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang