Thirtty Four

41K 1.9K 15
                                    

Ana hanya mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari jemarinya. Mungkin itu yang ia lakukan dalam beberapa saat lamanya. Lalu berapa menit ia tertidur tadi? Yang jelas kepalanya masih sangat begitu berat untuk menjalankan aktivitas pagi.

Wajahnya sudah sedikit segar ketika ia membasuhnya. Walau masih tersimpan lingkar hitam dimatanya, itu tak membuat dirinya merasa aneh dipandang orang. Ia pun masih menunggu Shasa yang terlihat mematung, entah apa yang dipikirkan sahabatnya saat ini. Apakah itu yang dinamakan pembetean? Mungkin itu yang sedang Ana pikirkan pada waktu yang masih berjalan ini.

"Jadi apa yang lo mau omongin, sampai membutuhkan ruangan yang seprivasi gini?" tanya Ana yang sudah tak tahan lagi.

"Jadi Aksen depresi? Udah berapa lama? Kok lo nggak ngasih tahu gue?" ucap Shasa balik tanya.

Ana menerawang jauh ke depan. Ia enggan untuk menceritakannya, tapi rasanya bodoh juga ketika ia memilih untuk diam saja. Shasa juga sudah mencari ruangan privasi untuknya, apakah nanti uangnya akan terbuang secara percuma.

Sudah sekian lama, Ana bertekad hati untuk merahasiakan derita Aksen dari semuanya. Namun perlahan, usahanya pun terlihat sia-sia mengingat banyak orang yang sudah mulai tahu. Ana menatap Shasa bersiap untuk menceritakannya.

"Aksen sudah depresi sudah lama. Lo inget pas Aksen sama Arkan bertengkar hebat ditengah lapangan, terus nggak lama gue putus sama Arkan, dan Arkan jadian sama Gina. Kejadian beruntun dimana Aksen mengalami puncak depresi tingkat akutnya."

Shasa meneguk ludah kasar. Mungkin rasanya begitu sulit bagi Ana tersendiri, ketika melihat Aksen yang begitu rapuh pada saat-saat seperti itu. Terlebih lagi, Ana baru saja merasakan suatu derita dimana ia merasakan sakit hati.

"Setelah datangnya Gina ke Indonesia, Aksen sudah berada diposisi yang tidak nyaman saat itu. Karena masa lalu, dia menjadi memiliki sikap yang begitu sensitiv, hingga kejiwaan Aksen terganggu." ungkap Ana kembali. Karena pada saat itu, memang Gina yang telah merusak semuanya.

"Tunggu-tunggu, Gina? Masa lalu? Apa hubungan kalian dengan Gina di masa lalu?" tanya Shasa sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.

Ana menghela napas jengah. Mengapa ia harus dikaruniani sahabat yang selalu ingin tahu itu. Jujur, Ana tak ingin memeliki sahabat yang selalu ingin mengerti privasinya. Tapi Shasa? Hanya dia yang sepertinya masih mau berdiri dengannua, dan bersama-sama.

"Gue diusir, Aksen koma, dan itu karena ulah Gina. Ya, itu mungkin yang membuat Aksen selalu membenci orang itu. Ia berpikir, Gina pasti akan memisahkan gue dengan dia lagi. Jadi dia bersikeras untuk menolak Gina didekatnya, terlebih lagi harus satu tempat tinggal bersamanya."

Shasa menyangga kepalanya merasa pusing. Bingung dengan apa yang baru saja diceritakan oleh sahabatnya. Rasa-rasanya kepalanya pening memikirkan semua.

"Jadi lo diusir? Gimana maksudnya sih, gue nggak paham!" seru Shasa yang terlihat kesal.

Ana langsung menjatuhkan kepalanya diatas meja. Apakah Shasa harus tahu semuanya secara detail, tentu Ana pasti akan lelah menceritakannya. Ia mengangkat kelima jarinya ketangan Shasa.

"Lima menit, gue butuh istirahat!" seru Ana juga.

Benar, Shasa harus menunggu Ana yang tampak diam saja ditempat. Tak ada pergerakan, serasa Ana menikmati hal-hal seperti ini. Tepat menit ke lima, Ana langsung mengangkat kepalanya sesuai janjinya.

"Gue diusir karena dianggap telah mencelakai Aksen, yang sebenarnya Gina sendiri yang melakukan. Gue dibiarkan tinggal dipanti asuhan yang memang sebenarnya gue masih punya orang tua lengkap. Sedangkan Aksen harus koma karena ia mengalami kecelakaan pada saat itu. Pada intinya gue terpisah sama Aksen dulu."

Shasa masih mengernyitkan dahinya bingung. "Coba lo ceritain secara detail. Gue masih nggak paham!"

"Bodo lah. Gue udah ngantuk, pengin tidur." Ana langsung meletakkan kepalanya diatas meja, kemudian memejamkan mata. Sedangkan Shasa hanya mengerucutkan bibirnya sebal.

______

Merisca menatap Aksen yang nampak diam. Tak ada ekspresi sama sekali di sana, namun ia tahu bahwa Aksen sedang memikirkan sesuatu.

Tiga puluh menit sudah berlalu, namun Aksen masih betah untuk membungkam suaranya. Merisca pun sabar menunggu Aksen mengeluarkan suara. Namun itu senua tidak berlaku bagi Ferdi, yang bersikeras untuk ikut dengan mereka. Karena sekarang, Ferdi terus menggerak-gerakkan tubuhnya yang tampak bosan akibat lelah menunggu.

"Kalian masih betah diam-diaman begini. Tak ada percakapan lain gitu, saya nggak mungkin lagi harus menunggu kalian yang berpuasa mengeluarkan suara." ucap Ferdi yang sudah tak tahan lagi.

Aksen hany menoleh sekilas, kemudian kembali ke aktivitas semula. Sedangkan Merisca langsung menatap Ferdi tajam.

"Kamu bisa diam sebentar?" tanya Merisca.

Ferdi yang terkekeh pun, langsung mengangguk. "Oke, saya akan menunggu kalian membuka suara. Lanjutkan puasa kalian sekarang, saya sudah tak betah lagi untuk menunggu lebih lama."

Ucapan Ferdi nampaknya tak membuahkan hasil sama sekali. Buktinya hingga satu jam lamanya, mereka masih melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya, Aksen meminum air mineralnya dan menatap Merisca hendak mengungkapkan sesuatu.

"Aku kembali bertemu dengan keluargaku. Dan aku bingung harus melakukan apa nanti?" ucap Aksen yang baru saja membuka suaranya.

Merisca mengangguk paham. "Lalu apa yang kamu lakukan, ketika bertemu dengan mereka."

"Awalnya aku merasa kasihan dengan kondisi mereka saat ini. Namun entah mengapa, kenangan buruk dimasa lalu perlahan berdatangan. Aku bingung harus melakukan apa ketika pikiran buruk itu kembali menguasai tubuhku."

Merisca tahu sekali dengan apa yang dirasakan Aksen saat ini. Antara ingin kembali dan pergi, mungkin itulah sirat mata yang terpancar diwajah anak angkatnya.

Merisca lagi-lagi mengangguk. "Adakah rasa ingin melukai diri sendiri?" tanya Merisca kembali.

Aksen langsung mengangguk cepat. Benar, ia langsung mencari benda tajam yang akan menyalurkan pelampiasannya. Nyatanya tak berhasil, karena sama sekali tak ada apapun disakunya selain ponsel dan juga dompet yang memang hanya berisi kartu ATM dan uang beberapa lembar berwana biru di sana.

"Ya, aku hendak melukai diri sendiri. Namun tak berhasil. Pada saat itu, batin ini terasa tersiksa. Dan ketika mereka menenangkan aku, yang ada hanya rasa tenang namun didalamnya terlihat kosong." jelas Aksen kembali.

Merisca meminum capucino yang memang sudah lama dipesannya tadi, kemudian menyesapnya perlahan.

"Kamu ingin kembali kepada masalalu?" tanya Merisca yang kemudian menatap Aksen dengan penuh arti.

Aksen terdiam. Ada sedikit celah yang memang menginginkan dirinya untuk kembali. Apa lagi kemarin, ia baru saja melihat orang tuanya yang nampak kuris tak terurus. Namun, masih banyak kekecewaan yang ia pegang hingga sekarang. Sepertinya ia menginginkan kembali, namun tak punya cukup nyali.

"Aku tidak tahu." jawab Aksen selanjutnya.

"Sebenarnya Mamah hanya ingin menyarankan, bahwa cepat-cepatlah berdamai dengan masa lalu. Mereka membutuhkan kamu di sana bukan? Mamaj tidak apa, jika harus sendiri lagi." Merisca menghembuskan napas panjang. "Namun Mamah masih berharap lebih agar kamu masih mau menjadi anak Mamah. Karena selama ini, kamu telah menemani Mamah hingga tak merasa kesepian lagi. Kamu mendengarnya bukan?"

Aksen mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan pergi entah kemana. Meninggalkan Merisca yang nampak mematung, dengan Ferdi yang berada di sampingnya.

"Kamu tidak sendiri. Masih ada aku dan Davin yang akan selalu bersamamu nanti." ucap Ferdi yang kemudian memeluk Merisca dari samping.

******

1100 Kata.

Kok lama up kak? Kan sempetnya baru sekarang :v

Salam dariku,
By: Vaa_morn.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang