Davin mondar-mandir tepat didepan ruang UGD rumah sakit. Ia sudah berlinang air mata, bahkan sudah sampai terisak hingga saat ini.
Tujuh jam yang lalu, isterinya baru saja masuk kedalam sana. Dan sampai kapan isterinya harus berada di sana? Dadanya sudah sangat sesak ketika memikirkan kondisi Ana yang tidak-tidak.
Malam sudah semakin larut, dan ia belum saja menyentuh air sekedar membasahi tenggorokan. Ia pun seakan memilih untuk berpuasa saja, seakan menghindar dari makanan lezat yang siap disantap demu sang isteri yang berjuang menahan lapar.
Ia merutuki semuanya. Bingung, mengapa semua orang harus keluar rumah di saat Ana tengah hamil tua seperti ini. Benar saja, jika mereka sangat percaya dengan asisten rumah tangganya. Bukan berarti mereka bisa seenak hati meninggalkan Ana seorang diri dirumah, terlebih didalam kamarnya seorang diri.
"Maafkan Mamah sayang. Mamah salah dalam hal ini, karena meninggalkan Ana sendiri dirumah."
Davin tak sepenuhnya menyalahkan Mamahnya atas hal ini. Semuanya sudah terjadi, jadi ia tak mempersalahkan itu lagi. Tapi Ana masih berada di dalam sana sekarang? Rasanya ia ingin menggantikan posisi dirinya menjadi Ana disaat-saat seperti ini. Hingga hanya ia yang merasakan derita, bukan Ana lagi yang dicinta olehnya itu.
"Bagaimana keadaan Ana, Davin?" tanya seseorang yang datang dengan tergopoh-gopoh.
Davin menoleh, dan mendapati mertuanya yang sudah pucat pasi. Davin dirundung rasa bersalah saat itu juga. Tak seharusnya ia meninggalkan isterinya karena ambisi yang besar dalam bekerjanya itu hingga saat ini. Ia sudah menerima imbasnya sekarang.
Davin berlutut, sembari menangis. "Maafin Davin Pah, Davin emang udah lalai buat jaga Ana. Maaf Pah.. Maaf.."
Tepat pada waktu yang bersamaan, Aksen datang dengan napas terengah-engah. Ia memegang lututnya sembari mengatur napas, ternyata penerbangannya terlalu menyita banyak waktu ke Indonesia. Untung saja dia tepat waktu di depan ruangan dimana di dalamnya terdapat Adiknya itu.
Ya, Aksen dengan tergesa-gesanya memilih untuk kembali dan menemani Ana disaat-saat seperti ini. Sungguh berbeda dengan Aksen yang dulu, karena yang sekarang Aksen lebih tampan dan terkesan supel pada orang lain.
"Lo nggak salah kok. Ini semua udah takdir dan diatur Tuhan seperti ini. Tunggu hasilnya, kita berdoa sama-sama." ucap Aksen yang kini menyandarkan dirinya didinding tembok. Ia pun tengah dirundung kekhawatiran, tapi tak seperti Davin. Mungkin karena rasa lelah yang masih terasa, sedikit-sedikit membuatnya memejamkan maya, dalam keadaan yang masih berdiri.
"Davin, berdirilah. Benar kata Aksen, kamu nggak salah untuk hal ini."
Ceklek..
Pintu ruangan itu terbuka sehingga menampilkan seorang Dokter yang sudah dibanjiri keringat. Semua orang di sana menahan napas, berharap tak ada berita sedih menimpanya.
"Maaf saya sudah berusaha sekuat mungkin." ucap Dokter itu sembari mengelap pelipisnya.
Nafas semua orang tercekat. Sedangkan Davin sudah meronta untuk dilepaskan kendali oleh Aksen, ya karena Aksen tengah memeganginya kuat-kuat. Aksen yang memang sedang memejamkan matanya, langsung sigap memegangi tubuh Davin dengan kuat. Mungkin Aksen berharap bahwa Davin tak seharusnya langsung mengamuk dengan segala emosi yang menerpanya itu. Ada kalanya bahwa Davin harus bertindak matang-matang!
Papah Ana bereaksi. Ia sudah mendekat kearah Dokter itu, lalu meninjunya. Emosi Davin tersalurkan sudah, lewat bogeman mentah mertuanya. Davin tersenyum, setidaknya apa yang ingin dilakukan olehnya sudah terjalani meskipun tidak menggunakan tangannya.
"Maksud anda apa hah?!" bentak Papah Ana yang sudah lepas kendali.
"Kedua anak kembar Nyonya Ana sudah bisa diselamatkan. Tapi.." Dokter itu menjeda kaliamatnya, sembari mengusap bibirnya yang sudah bersarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Novela JuvenilSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...