Forty

43.7K 2K 24
                                    

Perjalanan yang begitu panjang dilakukan oleh keduanya. Terutama bagi Davin sendiri. Ia sungguh lelah dan tak tahu arah mana yang akan Ana tapaki selanjutnya. Tanpa kendaraan, karena mereka memilih untuk jalan kaki saja. Bahkan Ana memilih untuk meninggalkan sepedanya disembarang tempat, dengan alasan ingin menikmati setiap hembusan angin malam yang menerpa pada diri mereka itu untuk waktu sekarang ini.

Kalian pasti dapat menggambarkan bahwa mentari sudah kembali ketempat peraduannya. Sedangkan sang raja malam dengan segala jenis bintangnya, hadir dan menerangi semua kegelapan yang ada. Namun itu tak membuat mental Ana menjadi ciut. Buktinya Ana tak menampilkan raut wajah apapun yang mengatakan dirinya merasa tak berani sekarang.

Mereka tak menapaki jalan raya lagi. Kini mereka tengah menaiki bebatuan terjal, yang jika siapapun tak merasa fokus, pasti akan terjatuh dan kembali ketempat semula. Dan patut diberi Apresiasi jika mereka berhasil naik ke atas, karena mereka pun kini tengah mengusap keringat yang nampaknya kelelahan.

"Jadi selama berjam-jam kita jalan kaki, cuma mau kesini doang dan ngebahayain diri kita. Buang-buang waktu tau nggak." ucap Davin yang nampak sangat frustasi harus mengikuti setiap langkah Ana.

Bagaimana tidak? Baru saja mereka dihadapkan dengan bahaya, yang Ana sendiri nampak biasa-biasa saja.

"Bisa diem nggak. Gini bahaya? Biasa aja kok jika lo naik dengan cara hati-hati." jawab Ana enteng.

Davin menghembuskan napas kasar. Ia tak akan cukup mampu untuk beradu debat dengan Ana. Karena pada kenyataannya Ana pun memiliki kadar keras kepala yang begitu tinggi.

"Jadi kita mau kemana?" tanya Davin selanjutnya.

"Lo akan tahu secepatnya. Tapi intinya lo harus hati-hati." jawab Ana yang kemudian melanjutkan jalannya.

Dapat dikatakan, mereka berjalan pelan dipinggiran tebing yang tadi dinaikinya. Hanya itu jalan satu-satunya agar mereka dapat sampai ke atas dengan cepat, dan tempat ini pun hanya ada disudut kota, dimana rimbunan pohon masih terlihat asri dipandang mata.

"Jadi kamu bisa ke sini, hanya dengan naik sepeda. Butuh berjam-jam untuk itu." tutur Davin yang nampaknya masih sedikit bingung.

"Kata siapa? Gue tadi numpang mobil pickup yang emang mau kedaerah sini. Dan gue diturunin dipertigaan jalan sana, jadi ya gue jalan-jalan aja, nggak peduli jika gue harus nyasar." jawab Ana lagi.

Karena kemarin baru saja diguyur hujan, tebing yang mereka tapaki agak sedikit licin. Mereka harus ekstra hati-hati untuk mencari langkah yang pasti terselamati. Benar saja baru beberapa langkah Ana berjalan, ia langsung kehilangan keseimbangannya karena tergelincir.

"Aaaaa..." teriak Ana yang langsung menutup kedua matanya. Ia tak tahu jika sedang dihadapkan dengan bahaya sekarang. Pada intinya, Ana tak sudah sangat rela jika ia harus kehilangan nyawanya saat itu juga.

Davin yang memang selalu ekstra hati-hati dibelakangnya itu tak tinggal diam. Dengan siap, ia langsung menangkap tubuh Ana dan menggenggam tangannya agar tak jatuh. Dengan sekuat tenaga Davin melakukan, meskipun dia sendiri tak cukup kuat untuk menopang tubuh Ana dengan tangan kanannya yang baru saja lepas dari peralatan rumah sakit.

Ana pun terdiam untuk sejenak. Seharusnya ia sudah melayang dan tertarik cepat oleh gravitasi bumi, tapi dugaannya sepenuhnya benar-benar salah. Ia masih melayang, dengan seseorang yang menahan bebannya. Cepat-cepat Ana membuka, lalu menegakkan badannya agar Davin tak terlalu lama mengerahkan seluruh tenaganya itu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Davin dengan menggerak-gerakkan tangannya yang sedikit pegal.

"Iya.. Maaf karena gue, lo harus jadi kayak gini. Tapi gue jamin, lo pasti bakal suka dengan tempat yang akan gue tunjukin ke lo." jawab Ana sepenuhnya yakin.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang