Thirtty Seven

40.7K 1.8K 32
                                    

Seperti yang sudah direncanakan Alissha matang-matang, kedua Adiknya sudah berada dihadapannya saat ini. Sebelumnya ia tak cukup yakin, namun rasa optimisnya telah mengalahkan segalanya.

Ana dan Aksen sudah berada di depannya dengan tatapan yang sukar diartikan. Namun itu tak membuat Alissha langsung menyerah, ia cukup-cukup yakin dengan usahanya nanti.

"Kanapa?" tanya keduanya langsung, tanpa menunggu waktu yang terbuang secara percuma.

Alissha meraih ponselnya dan memamerkan gambar yang tak asing dimata mereka. Di sana, terdapat Papah dan Mamahnya yang nampak sayu di dalam gambar itu. Jadi apa yang sedang dimaksudkan Alissha sekarang? Ana tak cukup paham dengan itu.

"Dia orang tua kalian yang sekarang tengah membutuhkan dukungan dari kalian sebagai anaknya. Apakah kalian masih mementingkan rasa egoisme dalam diri kalian. Lihatlah mereka yang tampaknya rapuh tanpa adanya kalian." jelas Alissha yang langsung mematikan ponselnya, dan memilih untuk menatap keduanya dengan tatapan yang tersirat harapan besar.

Ana nampak diam seperti memikirkan sesuatu. Kalian cukup dengar, bahwa dalam lubuk hatinya yang paling terdalam, ia tak pernah egois. Ia masih ingin kembali kepada masa lalu, namun sebelenggu kenangan buruk terus menghantuinya. Dan tak bisa dilupakan begitu saja.

Lain halnya dengan Aksen. Ia sepenuhnya masih sayang terhadap mereka yang sudah mengacaukan semuanya. Tapi argghhh..  Aksen tak cukup kuat untuk kembali berlabuh dihati mereka, di saat dirinya pun masih belum bisa mengendalikan diri sepenuhnya.

"Kalian tak perlu mengasihani kami. Hanya saja sedikit memberi harapan pada mereka bahwa kalian masih ingin kembali bersama kami, itu sudah membuat  kami merasa bahagia." sambung Alissha kembali.

Aksen langsung menggebrak meja, walaupun ia tak enak hati. Tapi memang rasa egonya masih seatas langit, dan masih belum bisa dijatuhkan ke bumi begitu saja. Aksen tak mau itu terjadi dengan mudahnya.

"Saya nggak bisa ngelakuin itu semua, bagi saya itu adalah sesuatu yang terasa berat untuk dijalani. Dan anda harus tahu itu." ucap Aksen yang berbicara formal.

"Tapi bisakah kamu memberi kami satu kesempatan saja. Beri kami waktu untuk membuktikan semuanya." bela Alissha yang nampak sudah terpancing emosi.

Ana hanya menatap keduanya dalam diam. Ia harus memiliki pikiran yang bersih untuk melerai keduanya, disaat keduanya sudah tak terkendali lagi. Ana tak ingin semuanya langsung tersulut emosi, dan menghambur-hamburkan tenaga. Ia harus memiliki akal sehat untuk menjadi penengah keduanya.

"Saya tidak bisa. Sa.. Saya tidak bisa! Tolong hargai saya yang masih belum bisa menerima semuanya." Aksen sudah kalang kabut, ia tak tahu harus mengatakan apa nanti.

"Jadi, kamu masih belum bisa menerima semuanya. Sampai kapan? Sampai Papah dan Mamahmu sudah meninggalkan dunia. Jika memang begitu, maka kamu adalah orang yang akan saya salahkan atas semuanya." ucap Alissha yang langsung membuat Aksen membungkam mulutnya rapat-rapat.

Aksen sangat tertampar. Rasanya begitu sakit ketika dia yang tak bersalah, namun dirinya lah yang disalahkan. Aksen langsung lemas dan luruh kebawah. Sedangkan Ana menerawang jauh ke depan sana.

Salah? Ia ingat ketika pertama kali dibuang ke panti asuhan dengan begitu teganya. Ia yang tak bersalah, namun dia yang harus menanggung akibatnya karena ulah satu orang saja. Masa kanak-kanaknya saat itu langsung direnggut oleh kejamnya waktu yang jauh dari kata sempurna. Ia memejamkan mata, kemudian menitkkan air matanya. Begitu pahitkah dunia  nyatanya itu?

"Apa salahku jika memang tidak bisa menerima semuanya? Apa salahku jika memang tak bisa mengikhlaskan semuanya? Apa salahku jika aku tak bisa mengendalikan diriku dengan ala kadarnya?" tanya Aksen sambil menangis.

Alissha terdiam. Sepertinya ia salah ngomong sebelumnya.

"Aku nggak pernah minta pada Tuhan untuk mendapatkan semua imi. Karena apa? Semua itu mengalir begitu saja Mbak, tanpa aku ketahui sama sekali. Aku nggak pernah minta kalian buat menderita. Dan apa itu kemauanku? Tidak, salah kalian sendiri yang tak pernah mengerti keadaan kami saat itu." jelas Aksen sambil mengusap matanya dengan kasar.

"Dengar! Aku nggak mau hidup dengan kelainan jiwa seperti ini. Hidup selayaknya normal disaat pikiran udah sepenuhnya kacau seperti ini, itu penderitaanku Mbak. Mbak tahu rasanya? Ingin sekali aku menyalahkan takdir yang begitu buruk itu. Jika pun bisa, aku ingin mengutuk nyawaku agar cepat-cepat pergi dari dunia. A.. Aku.."

Ana sudah tak tahan, ia menggeleng kuat dan berusaha untuk menjadi seseorang yang paling tegar di dalam sana. Namun usahanua tak membuakan hasil, bahkan ia lebih jauh dari seseorang yang terpuruk sekarang.

"Aksen, Mbak Alissha hanya.."

"Cukup.. Stop.. Nggak usah kebanyakan drama!" seru Ana sambil memegang tubuh meja. "Nggak usah ada yang ngomong lagi, gue jadi pusing mikirnya!"

Aksen yang memang penampilannya sudah sedikit berantakan itu, langsung terdiam menatap Adiknya. Sedangkan Alissha seratus persen sudah bungkam dan mampu berkata-kata lagi.

"Ana mohon sama kalian, jangan seperti ini lagi. Ana nggak suka." ungkap Ana yang kemudian menatap Alissha sepenuhnya. "Menerima itu tidak mudah Mbak, butuh keihklasan untuk menyadarkan diri, bahwa  masa lalu itu tak seharusnya untuk diingat!"

Terlihat dengan jelas bahwa Ana mengatak itu dengan sedikit gemetar. Ia tak mau, hal serupa yang dilakukan oleh keduanya terus  berlanjut. Terlebih lagi, jika harus menaruhkan fisik diatas segalanya. No! Ana tidak akan membiarkan itu semua terjadi.

"Mbak, kasih kita waktu untuk memikirkan semuanya. Jika memang kita harus disegarakan untuk kembali, maka kita akan menurut. Tapi maaf, luka yang sudah tertoreh, tak bisa disembuhkan dalam waktu yang begitu singkat." jelas Ana dengan kepala dingin.

Ana langsung membantu Aksen untuk berdiri. Setelah itu, mereka bersiap pergi untuk meninggalkan ruangan Alissha ketika Aksen sudah merapikan penampilannya.

"Tunggu!" cegah Alissha yang membuat keduanya berhenti dari langkahnya untuk keluar. "Aku cuma mau ngasih tahu kalau orang tua kalian sekarang sedang sakit. Terserah kalian mau percaya atau tidak, yang pasti orang tua kalian sudah tidak mau makan dari kemarin."

Aksen yang memang tak tahan dengan semunya lagi, langsung berjalan cepat tanpa peduli dengan yang lainnya. Ana pun langsung berlari mengejar Aksen, berharap Aksen tak akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak.

"Abang, jangan pernah lari dari kenyataan. Hadapi itu semua, jika Abang tak tahan lagi dengan drama yang sedang kita perankan." ucap Ana yang berhasil menyamai langkah Aksen.

"Tapi itu semua tak mudah Na. Rasa-rasanya mustahil sekali untuk kita jalani nanti." jawab Aksen yang masih mengerti akan keadaan dirinya.

"Untuk itu hanya ada dua pilihan. Kembali untuk mereka, atau pergi meninggalkan semuanya. Ana janji, akan mengikuti apa yang Abang mau nanti."

Aksen menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak tahu harus menjawab apa, terlebih itu adalah pernyataan yang sungguh sulit. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Drama yang sedang ia lakukan adalah berkaitan dengan nyawa. Dan Aksen tak mau nyawa seseorang terenggut atas ulah darinya.

Ia memejamkan mata. Kemudian menghirup oksigen banyak dan mebghembuskannya secara perlahan. Ia kembali membuka matanya, lalu berniat menjawab apa yang tadi diucapkan oleh Adiknya.

"Kembali ke masa lalu, jika kita memang dibutuhkan di sana. Bukankah kamu selalu memintaku untuk berdamai dengan masa lalu? Maka ini cara satu-satunya untuk memperbaiki keadaan dengan cukup sebaik-baiknya."

Ana memeluk Aksen. Memang ini yang harus Aksen lakukan setelah sekian lama. Jika masa lalunya telah membuat diri Aksen seperti ini, maka hanya mereka yang dapat menyembuhkan Aksen dari semuanya termasuk melukai diri sendiri.

"Mari kita lakukan!"

*****

1140 Kata.

Oke cukup tripel up untuk hari ini. Maaf nggak balas komentar kalian sebelumnya, soalnya tak cuRkup waktu untuk membalasnya.

Salam dariku,
By: Vaa_morn

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang