Hari sabtu yang sangat ditunggu-tunggu oleh Davin. Bahkan pagi-pagi sekali, ia sudah bangun dan berniat untuk lari pagi sekedar untuk menyehatkan tubuh. Dan tentu saja itu kegiatan rutin yang Davin lakukan setiap sabtu menjelang pagi yang cerah ini.
Handuk kecil sudah tersampir rapi dilehernya, ponsel yang sudah ia charge penuh, lalu dengan earphone yang baru saja diambil dari segelnya karena masih baru. Tak lupa dengan setelan celana training dengan jaket senada yang sengaja ia ikat dipinggang idealnya itu. Lagi-lagi, Davin selalu menampilkan diri begitu sempurna di depan khalayak ramai. Perfect!
Ia menenteng sepasang sneaker putihnya, lalu berjalan santai menuruni tangga yang tampak berlika-liku. Davin terhenti dari langkahnya, ketika ia mendapati Papahnya yang sedang sibuk membaca koran diteras depan rumahnya, dengan kacamata yang bertengger diwajah yang tampak awet muda.
"Selamat pagi Pah." sapa Davin kemudian menyalaminya.
"Selamat pagi sayang. Mau lari pagi ya?" tanya Papahnya yang menelisik penampilan Davin secara keseluruhan.
Davin mengangguk kemudian duduk disembarang tempat. Ia memakai sepatunya, kemudian mengikat talinya secara kuat agar tak mudah lepas.
"Tumben Papah nggak kerja?" tanya Davin yang sedikit heran karena sang Papah yang terlihat santai.
"Papah sudah tua, dan sudah saatnya Papah mengurangi porsi kerja sehari-hari. Mungkin mulai saat ini, Papah bakal ngambil banyak waktu yang senggang nanti, untuk dihabiskan dengan kamu sepenuhnya. Dan itu semata-mata, sebagai pengganti waktu, karena Papah nggak pernah ada waktu buat kamu sedari kecil." jelas Papahnya menuturkan.
Davin terdiam. Namun di dalam hatinya, terdapat gejolak batin yang membuat dirinya merasa bahagia. Tetapi sepertinya ia akan menitikkan air mata merasa haru. Toh Papahnya sama sekali tak ada waktu untuknya dulu, memang karena dia yang berjuang menahan lelah, demi dirinya yang hidup serba berkecukupan seperti sekarang ini.
"Papah nggak perlu ngelakuin itu semua demi aku lagi. Papah udah berkorban banyak demi aku, untuk itu terserah apa yang akan Papah lakuin nanti, asalkan Papah merasa bahagia. Pada intinya, aku nggak akan maksa Papah buat mengurangi waktu sedenikian rupa, atau berhenti kerja. Karena keputusan, memang ada ditangan Papah sendiri." jelas Davin yang kemudian memeluk Papahnya.
"Ini keputusan Papah sayang. Papah akan fokus jaga kamu sekarang."
"Terimakasih Pah."
Papahnya mengangguk. "Katanya mau lari pagi, kok masih di sini."
Davin menepuk jidat, ia sungguh lupa dengan apa yang akan dilakukan olehnya sebelumnya. Ia tersenyum kecil, kemudian menatap Papahnya.
"Davin jalan dulu ya Pah." ucap Davin yang kemudian dilanjutkan untuk berlari.
Meskipun waktu baru saja menjelang pagi. Nyatanya, sudah banyak orang yang berlalu lalang ditrotoar jalan sana. Kepadatan kendaraan pun mulai terjadi, sehingga banyak klakson yang memekikkan telinga karena saling bersahut-sahutan.
Davin terhenti dijalan setapak taman kota, lalu kemudian mengelap keringat yang sudah berceceran. Ia duduk ditepian, dengan mata yang terus memandang kesana kemari karena padatnya pengunjung.
Dan matanya langsung tertuju kepada seseorang yang sedang menekan-nekan perutnya merasa sakit. Davin kenal orang itu, bahkan sangat-sangat mengenalnya. Bagaimana tidak? Orang yang terduduk lemas ditengah-tengah sana, adalah orang yang sangat-sangat dicintainya saat ini. Siapa lagi kalau bukan Ana, seseorang yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu.
Davin langsung berlari karena rasa khawatirnya. Terlalu berlebihan, bahkan ia sampai menabrak banyak orang yang menghalangi jalannya. Dan yang ia dapat, hanyalah sumpah serapah dari banyak orang yang telah ditabraknya.
"Ana kenapa?" tanya Davin yang memegang bahu kanan Ana.
Ana menoleh dengan sedikit menahan nyeri, namun kemudian ia kembali menekan-nekan perutnya yang terasa sakit.
"Nggak apa-apa kok." jawab Ana yang sedikit terbata-bata.
Davin mengeram menahan kesal. Rasa-rasanya ada sesuatu yang mencengkeram hatinya kuat, dan itu menimbulkan rasa sakit dalam dirinya. Davin kemudian memeluk Ana, tanpa menunggu persetujuan dari Ana langsung.
"Jujur sama aku, kamu kenapa?" tanya Davin yang sudah dilanda rasa takut.
"Gue nggak apa-apa kok, sssttt.."
Belum saja Davin mengeluarkan suaranya. Penglihatan Ana sudah dikelilingi dengan kegelapan, dan pada akhirnya Ana tak sadarkan diri dipelukan Davin.
_____
Devon mengaduk-ngaduk kopinya yang sudah dingin sedari tadi. Hari libur pertama yang baru Devon rasakan di kota yang berbeda itu, namun rasa-rasanya ia sudah merasakan banyak hal dan lama tinggak dikota itu.
Alissha melihat semua perubah Devon secara drastis. Padahal, ia lah yang sebelumnya terasa tegar dari semuanya. Namun sekarang? Bahkan Devon orang yang paling terpuruk, dari sekian banyak orang yang merasakan derita yang sama.
"Kenapa kamu masih saja seperti ini Mas. Jujur, aku nggak suka dengan kamu yang bersikap seperti ini." ucap Alissha yang duduk dihadapannya.
Devon yang mendengarnya, hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Untuk berbicara saja rasanya sulit, otaknya pun terasa buntu untuk hanya sekedar berpikir jernih.
"Aku sudah ngomong dari awal bukan, tolong terima semuanya jika kamu melihat sebenarnya. Lakukan perubahan itu secara perlahan, aku yakin jika kita bersungguh-sungguh, pasti usaha kita tak akan pernah mengkhianati hasil. Dengar! Mereka yang sekarang adalah mereka yang memiliki jiwa yang berbeda. Jadi mohon maklumi, karena kita mereka berubah." ucap Alissha kembali sembari menjelaskan.
Devon menggaruk-garuk rambutnya secara kesal. Ia menangis dengan air mata yang sudah jatuh menghiasi wajahnya. Lihatlah Alissha sekarang, bahkan dirinya pun ikut juga berderaian air mata.
"Aku Kakak yang bodoh! Kenapa di saat itu semua terjadi, aku harus menerima semuanya tanpa adanya perlawanan. Seakan-akan, dia sama sekali bukan darah daging yang didalamnya mengalir darah yang sama seperti diriku ini. Kesalahan yang sama kembali terulang, dan itu juga terjadi dengan Aksen pula. Aku benci fakta itu!"
Alissha memegang bahu Devon seperti memberi dukungan penuh kepadanya. Alissha tak tahu harus bagaimana lagi. Bahkan dirinya juga bingung untuk menghadapi mereka yang menjadi Adik Iparnya.
"Aku pasti bakal berusaha buat dapat hati mereka kembali. Aku bakal bawa mereka kembali. Dan aku bakal buat semua yang telah hancur, kembali bangkit." kata Alissha sembari tersenyum.
Devon mengusap air matanya, kemudian menatap Alissha lekat-lekat. Seperti ada rasa bahagia yang terpancarkan, mungkin merasa bersyukur karena ia dapat mendapatkan Alissha dihidupnya.
"Terimakasih kamu udah ada lagi di dalam hidupku. A.. Aku pikir, aku nggak bisa bertemu lagi dengan kamu. Nyatanya Tuhan masih mau mempersatukan kita kembali." tutur Devon yang sedikit tersenyum.
Alissha mengangguk, dan membalas senyuman Devon yang sudah sah menjadi suaminy itu.
"Aku juga minta maaf, karena meninggalkan kamu. Tapi jujur, aku dilanda rasa bersalah saat itu pada Ana. Karena memang Ana sedari dulu yang memang selalu ada untukku. Tanpa dia, aku nggak bakal jadi seperti ini, terutama bisa bertemu dengan kamu dan menjalin kasih di sana."
Devon mengernyit dahinya heran. "Maksudnya?"
Alissha keceplosan saat itu juga, ia langsung membungkan mulutnya rapat-rapat seperti tak ingin menjawab Devon yang sepertinya kebingungan. Entahlah, ia merasa bersalah saat ini.
"Kenapa? Apa maksud semuanya?"
Alissha menghirup napas panjang, kemudian menghembuskannya. Sudah cukup ia menyembunyikan semuanya. Suaminya berhak tau dengan asal-usul darinya yang bisa sesukses sekarang. Dan itu semua karena Ana.
Pada saat itu juga, Devon kembali menangis. Bukan karena ia lemah, namun karena ia tak bisa menahan rasa haru yang menerpanya.
*****
1125 Kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Teen FictionSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...