Davin sadar kembali. Hal yang pertama ia rasakan adalah rasa pening didahinya. Ia mengedarkan pandangannya kesekeliling. Dan ternyata, ia sudah berada di rumah sakit lagi seperti sedia kala.
Jam dinding yang terpasang di sana sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Dan ketika ia berusaha untuk memejamkan matanya kembali, nyatanya usahanya tak pernah membuahkan hasil.
Ada banyak orang yang menungguinya di rumah sakit ini. Sahabatnya, Andra dan Shasa terlihat sedang tidur pulas di sana, tanpa ada penghalang apapun. Papah dan juga seorang wanita yang tak lain adalah Ibunya sendiri, nampak saling menyandarkan diri dan memejamkan matanya masing-masing. Lalu dengan seorang gadis yang seharian ini bersama dengannya, ia pun tampak tidur pulas meskipun tidak dalam posisi yang nyaman.
Lucu. Davin tertawa kala melihat ekspresi Ana yang berbeda dari sebelumnya. Terlebih lagi karena posisinya yang tak terlalu nyaman, tentu saja membuat ekspresi tersendiri yang membuat Davin langsung tersenyum menatapi Ana.
"Aku harap, kamu tidak seperti orang lain yang tahunya menghujat dalam satu sisi. Aku juga berharap, kamu akan menjadi penyempurna hidupku kedepannya. Maaf karena tadi sudah mengecewakanmu dengan mengatakan yang tidak-tidak tentangmu."
Tepat pada saat itu, Ana terjatuh dari sofa. Davin yang sedari tadi tersenyum, langsung saja berganti raut muka menjadi terlihat khawatir. Ana langsung duduk dan berusaha mengumpulkan nyawanya.
Begitu nyawanya sudah komplit, ia mentap kesekeliling ruangan itu. Semua orang sedang tertidur, terkecuali dirinya. Mungkin saja dengan Davin, karena Davin pun sedang berpura-pura untuk tertidur pulas.
Ana menggerak-gerakkan kepalanya yang sedikit pegal. Lalu kemudian berjalan menuju ponsel yang sampai saat ini masih mengisi daya sepertinya. Sedikit melirik, Ana dapat mengetahui bahwa waktu sudah menjelang pagi.
"Astaga! Aksen!" seru Ana yang langsung tersadar dengan Kakaknya.
Ia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Berharap ia tidak mengucapkan kata-kata dengan suara yang begitu keras. Setelah melihat kondisi mereka yang masih terlihat pulas, Ana langsung menghembuskan napas lega.
Sedikit cekatan, Ana langsung berlari mengambil tasnya yang berada diatas meja samping brangkar Davin. Ia mulai memasukkan ponselnya, kemudian mencari kunci mobil di dalam saku celananya.
"Ketemu." ucap Ana riang, kemudian berlari meninggalkan ruangan itu.
Davin membuka matanya perlahan. Ia cukup mendengar pekikan Ana yang nampak khawatir tadi, namun berusaha untuk dikendalikannya. Ia menerawang jauh keatas langit-langit didepannya.
"Semoga tak terjadi apa-apa dengan Ana. Aku mohon perlindunganmu ya Tuhan!" harap Davin didalam doanya.
______
Ana memasuki pelataran rumahnya yang terlihat sepi. Ia turun dari mobil, kemudian berusaha mengetuk pintu rumah.
Tokk.. Tokk..
Ana mengetuk pintu itu dengan pelan, namun tak ada sahutan. Tak mungkin Aksen bisa tidur dengan tenang, ketika mendapati Adiknya tak ada. Ana berusaha menunggu, berharap Aksen cepat membukanya.
Tokk.. Tok..
Lagi-lagi Ana mengetuk pintu itu kembali. Namun denga ritme yang sedikit keras. Menunggu jawaban dari dalam rumah, Ana mimilih untuk menghidupkan data di ponselnya.
Ting!
Terdapat banyak notifikasi dari Aksen. Mungkin merasa khawatir akan dirinya. Ia berniat untuk membukanya, namun tiba-tiba terdapat telepon masuk dan itu tak lain berasal dari Aksen. Cepat-cepat Ana mengangkatnya.
"Halo, Bang Aksen." sapa Ana dari dalam telepon.
"Ini Devon, Aksen berada dirumah sekarang. Tadi Aksen pingsan, sewaktu bertemu dengan kita." jawab seseorang didalam telepon.
Ana memejamkan matanya. Apa yang baru saja dialami Kakaknya tadi. Yang pasti, Ana selalu berharap jikalau Aksen tak lagi melukai dirinya sendiri.
"Terus keadaannya gimana sekarang?" tanya Ana yang sudah takut sekaligus was-was.
"Dia masih belum sadar sampai sekarang Na."
Ana memejamkan matanya. Sepertinya air matanya akan keluar.
"Jaga Aksen, Ana bakal nyusul. Share lokasi ya Bang."
"Pasti. Maaf udah buat Aksen seperti ini."
Ana menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Lagian nggak sengaja kan? Intinya Abang jaga Aksen jangan sampai ia melakukan sesuatu hal yang membuat dirinya melukai dirinya sendiri lagi.
"Oke Na. Aku share lokasi sekarang."
Devon memutuskan panggilannya secara sepihak. Setelah itu Ana memilih untuk duduk, dan bersandar ditubuh pintu. Ia tak tahu harus apa selain menunggu, intinya ia harus bersabar sekarang ini.
Sebenarnya, Ana pun masih sangat mengantuk dan berniat untuk tidur kembali nanti. Namun sepertinya niatnya lebih ia urungkan, karena yang terpenting sekarang adalah keadaan Aksen di sana.
Ting!
Satu notifikasi kembali muncul, dan itu berasal dari Devon. Dengan sedikit menahan rasa kantuk, ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Lo kuat Bang. Itu pasti!" kekeh Ana yang terus menyakinkan diri sendiri, bahwa tak akan terjadi apa-apa dengan Aksen.
Jalanan yang masih terasa sepi. Mungkin membuat Ana untuk bebas bergerak di dalam sana. Lampu malam yang terlihat remang-remang pun, mampu menemani jalan kemudinya menuju alamat yang ditujukan.
Butuh setengah jam untuk sampai, dan akhirnya usahanya membuahkan hasil. Ana menekan klakson mobil, berharap ada seseorang yang membukakan pintu untuknya.
Sungguh pas ketika Ana sudah turun dari mobil, pintu utama rumah itu terbuka. Langkah Ana langsung berhenti tatkala menatap bayang seseorang yang sudah lama tak saling jumpa.
Seseorang itu langsung berlari kemudian memeluknya erat.
"Maafkan Mamah Ana. Mamah mengaku salah waktu itu." ucap Mamahnya sembari menggenggam tangan Ana yang nampak dingin.
Ana bingung harus melalukan apa. Ia memang sudah memantapkan hati untuk menerima kenyataan, nyatanya ia sama sekali masih belum punya kekuatan untuk bertemu mereka dimasa lalu.
"Tangan kamu dingin sayang, ayo masuk kerumah sekarang. Mamah akan buatin minuman jahe buat kamu." ajak Mamahnya yang sama sekali tak dapat ditolak oleh Ana.
Pertama-tama yang Ana lihat, adalah interior desain rumah itu. Nampak klasik, namun masih terbilang moderen untuk zaman sekarang.
Mamahnya mendudukkan dirinya tepat diruang keluarga. Sepi, namun ketika ia menatap Mamahnya. Rasa-rssanya, ada sedikit getaran yang membuat gejolak hatinya sedikit teriris.
Bagaimana tidak? Mamahnya sangat berbeda dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dulu. Ia terlihat lebih kurus sekarang, bahkan bibirnya sedikit terlihat pucat.
"Kasih mereka kesempatan Na. Karena yang mereka lakukan, memang tulus dari hati. Mereka sudah menyadari kesalahan diri mereka masing-masing, untuk itu kembalilah dan akan memulai awal yang baru nanti." ucap Devon seraya memohon untuk yang kesekian kali.
"Ana sudah pernah bilang, bahwa memaafkan itu sulit. Ana tak akan menolak jika diharuskan kembali, namun itu tergantung pada diri Aksen." jawab Ana yang memang bersikeras untuk menolak. Namun, hatinya menginginkan untuk kembali. Meskipun dia sudah berkali-berkali disakiti.
Devon mengangguk maklum. "Aku harap kalian bisa kembali secepatnya. Aku tak ingin mereka terus dirundung rasa bersalah. Aku tak kuat menatap mereka yang terus-terusan seperti patung berjalan. Sama sekali mirip tak ada kehidupan didalam hidup mereka."
*****
Selesai. Lima part dalam satu hari? Gimana? Keren bukan?
Udah dapat banyak teguran dari Mamah supaya berhenti mainin hp. Tapi aku bersikeras, karena aku udah janji pada diri sendiri buat update sampai lima chapter.
Salam dariku,
By: Vaa_morn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Teen FictionSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...