Forty Nine

40.2K 1.7K 37
                                    

Sebagai perpisahan terakhir untuk Arkan di Indonesia, sepertinya Ana tak akan menyia-nyiakannya. Ia akan mengantarnya sampai di bandara, begitu dirinya telah menemui Davin dan memintanya untuk menemani dirinya.

Hampir seharian penuh kemarin, Ana tak bertemu dengan Davin sama sekali. Bukan hanya itu, Davin sama sekali tak memberikan kabar untuknya. Mungkin Davin sedang sibuk, terbukti dengan Aksen yang kemarin berkutat penuh dengan tumpukan kertas yang dibawanya.

Karena itu, Ana memilih untuk menemuinya dirumah saja hari ini. Tak mungkin bukan jika Ana lah yang menanyai kabar cowok lewat ponselnya. Ana sendiri pun termasuk cewek gengsi jika harus menanyakan kabar terlebih dahulu.

Ana turun dari mobil yang ditumpanginya, disusul dengan Arkan yang berada dibelakangnya. Ana mengernyit bingung, ketika gerbang rumah digembok rapat, dengan rumah yang terlihat sangat sepi itu.

"Kayaknya nggak ada orang deh Na." ucap Arkan yang ikutan menoleh kesana kemari.

Ana mengangguk mengiyakan. "Nggak kayak biasanya seperti ini. Biasanya ada penjaga kok di sini, lalu kemana mereka sekarang?"

Ana meneliti semuanya lewat tatapan matanya. Ada banyak perbedaan dari kondisi rumah itu yang membuatnya sedikit tertegun. Bagasi mobil yang biasanya terbuka lebar pun, kini tertutup rapat tanpa membiarkan satu butir debu pun yang masuk kedalamnya.

"Bu, penghuni rumah ini pada kemana ya?" tanya Arkan yang sepertinya juga tampak bingung dengan semuanya. Untung saja ada Ibu-ibu yang baru saja melintas, jadi ia tak perlu bingung lagi untuk bertanya-tanya.

"Kurang tahu Mas. Saya juga baru pindahan ke sini hari ini, saya pikir rumah itu kosong dibiarkan tak berpenghuni. Ternyata ada yang menghuni toh." jawab Ibu-ibu itu yang juga nampak bingung.

Ana mengernyit heran, kemudian mendekati Ibu-ibu itu.

"Ibu yakin dengan rumah ini? Jelas-jelas yang menghuni itu pengusaha sukses kok." lanjut Ana seraya berpikir keras.

"Saya yakin Mbak. Rumah saya juga persis berada dihadapannya ini kok. Itu rumah saya." jawab Ibu itu yang juga menunjuk rumahnya.

Dari situ juga Ana bertanya-tanya. Kemana perginya semua orang sekarang?

"Kita langsung ke Bandara ya, setengah jam lagi pesawatnya mau take off. Atau lo mau nunggu di sini saja? Tapi maaf, gue nggak bisa nungguin lo." ucap Arkan sambil memegang kedua bahu Ana.

Ana menggeleng pelan. "Kan niat dari awal mau nganter lo, masa gue ngingkarin janji sih. Ayo berangkat, aku yakin besok Davin udah pulang kok."

Arkan mengiyakan saja. Keduanya sama-sama masuk kemobil penumpang, yang kemudian langsung melesat jauh meninggalkan komplek rumah Davin.

Ana yang masih sedikit bingung, langsung menundukkan kepalanya. Ia masih berpikiran positif tentang keadaan Davin saat ini. Sesekali ia menggelengkan kepalanya, bahwa ia menolak keras pikiran negativnya itu.

Sepuluh menit kemudian, mereka sampai di depan Bandara. Sudah ada orang tua Arkan yang menunggu anaknya di sana. Mau tak mau, Ana turut turun menyalami kedua orang tua Arkan itu.

"Kamu Ana ya?" tanya Mamah Arkan sambil tersenyum.

"Iya Tante. Kok Tante bisa tahu?" jawab Ana sambil tersenyum manis.

"Tante tahu lah, Arkan udah cerita banyak soal kamu. Cocok sekali dia menjadikan kamu sebagai Adiknya. Kamu mau kan jadi Anak Tante yang kedua? Tante udah nggak bisa mengandung lagi, karena sebuah masalah. Padahal Tante ingin memiliki Anak perempuan." tanya Mamah Arkan yang membuat Ana tersenyum malu.

"Terimakasih Tante. Ana suka kok tawarannya. Nanti Tante juga dapat anak perempuan kok, dari istri Arkan sendiri pada nantinya."

Pletak.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang