Ana terus saja meniup-niup poninya dengan rasa kesal. Sudah setengah jam yang lalu, ia bersama dengan Shasa hingga saat ini. Lalu apa yang dilakukan Shasa itu, terasa membuatnya bosan setengah mati. Apa salah dirinya coba, sehingga membuat Shasa terus saja mendiaminya.
Bukan Ana jika ia lebih banyak mengoceh, terus saja mencari topik pembicaraan yang tak jelas, ataupun berusaha untuk terus melontarkan tawa, meskipun dirinya sama sekali tidak dapat dikatakan lucu. Namun kali ini, ia menyampingkan rasa gengsinya. Dan berusaha membuang jauh-jauh tingkah masa bodohnya yang sedemikian rupa itu. Dan itu, demi seorang SHASA yang menjabat sebagai sahabatnya!
Lain dari Ana, apa yang dilakukan Andra pun sama sekali tak menorehkan hasil. Berulang kali, ia ingin berbincang dengan Shasa, namun apa yang didapat hanyalah respon gestur tubuh Shasa yang hanya berlaku untuknya saja. Alhasil ia memilih untuk pasrah dan diam saja.
Jauh dari itu, ada Davin juga yang mungkin memilih untuk diam saja tanpa merespon. Sejak kemarin, memang yang ia lakukan hanyalah melamun saja. Tapi entahlah untuk sekarang!
Shasa menatap Davin dengan tak bersahabat. Hal itupun ditangkap oleh Ana ataupun Andra yang terus menatap tajam raut muka Shasa, yang kemudian mengucapkan sesuatu, dan membuat keduanya sedikit berpikir.
"Gue mau ngomong sama lo. Empat mata!" pernyataan Shasa kepada Davin yang kemudian pergi meninggalkan mereka di kantin.
Davin yang merasa tertunjuk pun hanya menganggukkan kepalanya saja, lalu mengikuti Shasa dari belakang. Entahlah Shasa mau membawanya kemana. Yang jelas, mereka tak lagi bersama Ana maupun Andra yang terlihat memancarkan aura bingung.
Tepat, Shasa membawanya ke rooftop kampus. Gedung teratas dimana mereka dapat melihat pemandangan seluruh isi kota. Shasa tak banyak tingkah, ia terlihat diam menatap gedung-gedung pencakar langit yang membentang luas di depannya.
"Jadi apa yang mau lo omongin sama gue?" tanya Davib to the point.
"Jawab pertanyaan gue secepatnya. Baru setelah itu gue bakal mutusin apa yang baik dan tidaknya untuk lo maupun sahabat gue." jelas Shasa tanpa memandang Davin di sebelahnya.
Davin terlihat diam. Namun tatapan matanya terus mengarah kepada Shasa yang sepertinya akan melakukan perbincangan serius dengannya.
"Lo sayang sama Ana?" tanya Shasa cepat.
"Ya.." jawab Davin mantap.
"Lo cinta sama Ana?"
"Ya.."
Shasa menjeda ucapannya. Kali ini ia menatap Davin dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya.
"Lo udah mantepin hati diri lo buat tulus sama Ana. Mencintai dia apa adanya, tanpa embel-embel pelampiasan ego aja? Lo nggak berniat buat pergi tanpa alasan bukan? Seperti yang lo tuturkan sebelumnya, cinta datang begitu saja tanpa sebuah alasan, dan akankan pergi pun tanpa menuntut sebuah penjelasan?" tanya Sasha cepat.
Davin terdiam sejenak. Mungkin berpikir dengan otaknya yang paling terdalam. Sedangkan Shasa menatap Davin, dengan tatapan sinis.
"Jika lo emang nggak niat sama Ana, gue saranin lo mending pergi! Daripada lo datang, terus pergi begitu saja ninggalin dia." tutur Shasa kemudian.
"Tapi jika lo emang niat buat tulus sama Ana, maka gue akan dukung seratus persen keputusan lo. Karena apa? Gue nggak mau Ana seperti dulu lagi, yang langsung disakitin begitu saja tanpa sebuah alasan karena cinta itu. Dan lo harus tahu, kami adalah seorang cewek! Yang pasti soal perasaan, kami lebih peka dan mengena, ketimbang kalian para cowok." lanjut Shasa kemudian.
Davin terdiam cukup lama. Mungkin bingung, dengan jawaban yang ia tuturkan. Sedangkan Shasa terus menatap Davin dengan pandangan remeh.
"Gue harap, lo cari tahu jawaban itu secepatnya. Gue nggak mau menunggu, apalagi sesuatu yang tidak terlalu penting seperti ini! Gue hanya pesen, niat yang tulus pasti akan bawa lo kejalan yang bahagia. Untuk itu lo harus pikir jawaban ini sematang-matangnya." sambung Shasa lagi.
Davin hanya mengangguk, lalu memilih mendudukkan diri saja sambil memejamkan mata. Entahlah, ia pun tak tahu jawaban pasti.
_____
Malam yang begitu sunyi, namun tak berarti malam ini adalah malam yang begitu membosankan. Nyatanya tidak, bahkan Ana rela pergi keluar hanya untuk merasakan makanan yang ingin sekali dirasanya.
Dengan jaket yang sedikit kebesaran dikenakan, ia berjalan pelan dipinggiran trotoar sesekali menggosok-gosok tangannya yang terasa dingin ditubuhnya. Ia cepat-cepat berjalan, hingga ia memasuki Cafe, tempat langganannya berada.
"Mbak, nasi goreng seafoodnya, sama green tea aja satu." ucap Ana kepada pelayan yang sudah menulis pesanannya.
"Oke, ditunggu sebentar ya Mbak." jawab pelayan itu setelahnya.
Ana hanya mengangguk. Sambil menunggu pesanannya datang, yang ia lakukan hanya membaca majalah yang tersedia di sana. Terlalu fokus, hingga ia tak menyadari ada orang yang sekarang duduk dihadapannya.
"Ekhemm, Na.." panggil orang itu.
Ana mengangkat wajahnya mendengar itu. Namun setelahnya, ia fokus membaca lagi ketika orang yang berada dihadapannya saat ini adalah Alissha.
"Lo sendiri di sini?" tanya Alissha yang memecahkan keheningan.
Ana hana diam saja, tak berniat untuk menjawab Alissha sama sekali.
"Dimana Aksen?" tanya Alissha lagi.
Tetap! Tak ada jawaban dari mulut Ana. Namun, ia berusah untuk tegar. Dan mencoba bersabar untuk menghadapi Ana.
"Naik apa ke sini?" tanya Alissja yang tak menyerah.
Bukhhh..
Ana langsung membanting majalah yang tadi dibawanya diatas meja, lalu menatap Alissha dengan tajam. Mungkin karena sudah berani-beraninya mengganggu dirinya, di saat ia sama sekali tak menganggu Alissha.
"Bisa diem nggak. Berisik lo di sini!" perintah Ana yang terlihat datar.
Sakit. Mungkin hati Alissha sangat pedih saat ini. Namun ia memilih untuk tak tinggal diam. Lagipula, ini untuk kebahagiaan bersama.
"Dimana Aksen? Gue pengin tahu kondisinya sekarang." ucap Alissha yang sepertinya tak pernah menyerah.
Ana menatap Alissha dengan bengis. Sepertinya Alissha tak gentar untuk menyerah begitu saja.
"Lo mau tanya Aksen dimana? Tanya dengan diri lo sendiri, lo udah bener apa belum! Kalau belum, benerin dulu sekarang. Gue nggak mau ada kecacatan lagi dari diri lo, yang terlalu BUTA!" sindir Ana langsung.
Tentu saja Alissha langsung memegangi dadanya yang terlihat sakit, dan memejamkan mata untuk meredakan nyerinya.
"Kenapa sih lo jadi seperti ini? Lo bukan Ana yang gue kenal dulu." tutur Alissha menyatakan.
Ana hanya tersenyum sinis. "Ya ini gue yang sekarang. Kenapa? Lo nggak suka! Jika lo mau tanya soal Aksen, tanya diri lo sendiri. Apakah lo dulu peduli sama dia? Nyatanya enggak kan."
Ana langsung pergi dari hadapan Alissha setelah mengucapkan itu. Tak ada nafsu lagi untuk kembali makan, karena lagi-lagi ada seorang pengganggu yang setiap saat, akan selalu memporak-porandakan semuanya.
Gagal sudah untuk memasukkan asupan gizi ke dalam perutnya. Padahal ia baru makan satu kali untuk hari yang akan menjadi esok beberapa jam lagi. Dan baru saja, Ana berada dipintu utama Cafe, lagi-lagi ia dikagetkan oleh seseorang dimasa lalu, yang sama sekali belum siap ditemuinya.
Degg..
Tepat pada detik, menit, dan jam yang sedang berputar itu, menjadi saksi pertemuanya untuk bertemu dengan seseorang dimasa lalu.
'Stay strong Na. Gue tahu lo bisa!' ucap Ana dalam hati.
Dapat dilihat orang itu tersenyum menatapnya, namun hal itu tidak berlaku untuk Ana. Secepat kilat, ia langsung melangkah pelan dengan sedikit menyenggol bahu orang itu.
'Maafin gue yang dulu pernah menyia-nyiakanmu Na.' ucap orang itu yang menatap kepergian Ana dalam diam.
*****
1117 Kata.
Chapternya ngegantung. Hanya ini saja ide yang aku punya.. Hikkss :(
Tunggu chapter selanjutnya ya. Salam dariku untuk kalian semua :)
By: Vaa_morn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Teen FictionSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...