Malam yang panjang bagi mereka yang terus berjaga dirumah sakit demi Davin. Andra dan Shasa, sudah memilih untuk pulang. Sedangkan Ana entah kapan Akan bangus dari tidurnya.
Aksen menopang dagunya dengan tangan kanannya. Sambil menatap gemerlap malam kota metropolitan ini, berulang kali ia menatap Ana yang terlihat pulas itu.
"Ngghhh.." lenguh Ana yang nampaknya akan terbangun.
Aksen yaang mendengar itu pun langsung melangkah mendekat. Ia sudah tak tahan lagi berlama-lama di sini, untuk itu ia ingin cepat-cepat kembali ke rumah. Rasanya sudah sungguh bosan ketika harus menunggui seseorang yang sama sekali tak terlalu akrab dengannya. Ini semua juga karena Merisca yang tak mengijinkan pergi sendiri, kecuali bersama Ana Adiknya itu.
Aksen bingung dengan Merisca. Disaat Davin mentah-mentah menolaknya, ia masih saja bertahan menungguinya. Terlebih lagi Davin selalu membentaknya, ketika ia mengatakan sesuatu. Apakah ini yang dinamakan kasih Ibu sepanjang masa? Entah mengapa Davin sepertinya pernah merasakan sebelumnya.
"Mah, Aksen pulang dulu. Ana sudah bangun, jadi pengin cepet-cepet pulang." tutur Aksen yang memang sudah melihat Ana yang terduduk mengumpulkan nyawa.
Merisca mengangguk pelan. Aksen menyalami Merisca, begitu pula dengan Ferdi yang berada di sampingnya.
"Om, Aksen sama Ana pulang dulu ya. Jaga diri Davin baik-baik ya." ucap Aksen sambil mencium tangan Ferdi.
"Panggil aja Papah, sama seperti Merisca yang kamu panggil dengan sebutan Mamah. Pasti Papah akan jaga Davin sebaik-baiknya. Nanti hati-hati dijalan ya." balas Ferdi yang kemudian membalas dia dengan senyuman.
Aksen mengangguk dengan membalas senyumannya. Sepertinya mereka telah memiliki dua orang tua yang lengkap. Ya, Aksen sudah memutuskan akan kembali ke lagi kemasa lalu untuk perdamaian. Karena sudah tak ada lagi yang Aksen cemaskan saat ini, terutama untuk seseorang yang telah membantunya hingga sekarang. Merisca sudah kembali bersama keluarganya. Untuk itu, ia juga harus kembali. Meskipun, jiwanya sedikit tak karuan, meninggalkan semuanya yang telah ia lakukan untuk membentuk hidup yang baru.
Aksen sedikit melirik kearah Davin yang nampak acuh. Ia terus memainkan ponselnya tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya. Aksen sedikit menghembuskan napasnya. Ia harap, Davin dapat menerima semuanya dan pantas berbahagia.
"Terimakasih semuanya. Ana ayo kita pulang, atau mau Abang gendong sekarang. Kamu masih mampu buat berjalan kan?" tanya Davin pada Ana yang sudah berdiri tegap.
Davin yang tadinya hanya fokus dengan dunianya sendiri, langsung melotot. Ia tak terima jika Ana harus bersentuhan dengan pria lain, meskipun orang itu adalah Kakaknya sendiri. Namun Davin tak bisa mengungkapkan semuanya kepada Ana, toh ia masih dalam tahap pendekatan dan itu masih belum mengalami kemajuan.
"Ana jalan saja, lagian Ana udah nggak ngantuk lagi." ungkap Ana yang membuat Davin mengeluarkan napas lega.
Ana berjalan kearah Davin yang terus menatapnya. Ia sedikit tersenyum dan menampilkan giginya, kemudian membuka suaranya.
"Vin, gue sama Abang balik dulu. Lo jaga kesehatannya, jangan malas minum obat." ucap Ana sambil memperingati.
Davin langsung meletakkan ponselnya di samping brangkar. Dengan mengembangkan senyumnya, ia mulai mengangguk.
"Thanks. Kamu hati-hati di jalan ya, jaga diri baik-baik." nasihat Davin kepada Ana.
Aksen jengah. Baru saja Davin memberikan perhatian penuh kepada Adiknya, namun sama sekali tak berlaku untuknya. Ia ingat ketika tadi siang mengobrol bersama Andra maupun Shasa. Bukan mengobrol baginya, karena ia hanya ingin menjadi seorang pendengar yang baik saja. Tentu saja Andra terlampau bosan terhadapnya, sedangkan Shasa mengangguk maklum atas sifatnya itu.
Aksen ingat ketika mereka sedikit menyinggung perasaan berlebih dari Davin kepada Ana. Bukan Aksen ingin melarang Davin jauh-jauh, hanya saja Aksen tak ingin terlampau percaya dengan orang lain. Bisa saja nanti jatuhnya Ana, kembali lagi merasakan sakit hati.
"Sudah pamitannya kan Na. Cepet lah, Abang udah ngantuk pengin makan." jujur Aksen selanjutnya.
Ana mengangguk cepat, kemudian berjalan mendahului Aksen. Sedangkan Aksen menatap Davin dengan sedikit ekspresi saja.
"Gue sama Ana pamit balik. Semoga lo lekas sembuh." ucap Aksen yang sepertinya hanya mengeluarkan nada datar.
Davin mengangkat jempolnya atas-atas. Pada saat Aksen melihatnya, ia langsung memberi anggukan, kemudian pergi dari ruangan itu.
Kini tersisa Davin dan orang tuanya. Davin sedikit menerawang jauh ke depan, kemudian senyum-senyum sendiri.
"Sepertinya anak Papah sedang bahagia sekarang. Lagi jatuh cinta ya?" goda Ferdi dengan menunjuk dirinya.
Davin langsung menggeleng-geleng cepat. "Nggak. Davin lagi seneng aja kok, karena besok bisa balik ke rumah."
Bohong Jika Davin mengatakan seperti itu. Nyatanya hatinya berteriak marah karena lagi-lagi ia tak jujur dengan semuanya.
______
Alissha berjalan kesana kemari sambil bersedekap dada. Ia tak tahu harus apa, ketika Papah dan Mamahnya itu ngotot tak ingin makan. Kuncinya hanya satu, membawa Ana dan Aksen kembali kerumah mereka.
Penampilan Devon pun tak cukup dikatakan baik untuk sekarang ini. Ia pun tak sempat mandi lagi, setelah melihat Mamahnya yang histeris ketika dirinya pulang dari Pasar. Memang setelah ada Ana dan Aksen tadi, Mamahnya bersemangat penuh untuk membuat masakan pagi, hasil dari belanjaannya sendiri.
Sirna semua dengan apa yang ingin mereka inginkan. Aksen pergi dari mereka, sedangkan Ana mengikuti jejak Aksen entah kemana. Apa yang dirasakan Devon pun cukup buruk, karena dia tak bisa mengendalikan semuanya.
Keduanya yang sedari tadi berada di depan kamar orang tuanya, mau tak mau harus kembali memaksa mereka untuk memberikan asupan gizi. Mereka tak menyerah untuk memaksa mereka, ini juga untuk kesehatan mereka bukan?
"Mah, Pah.. Alissha sudah masak tadi. Kita makan yuk?" ajak Alissha yang sedikit memohon.
"Nggak! Mamah nggak akan keluar jika kalian tidak membawa Aksen dan Ana kembali. Tolong, bawa mereka kembali." pinta Mamahnya yang nampak sedikit lelah.
"Mah, Alissha mohon! Kalian butuh asupan gizi sekarang. Alissha nggak mau jika kalian harus sakit nanti." protes Alissha yang nampak masih tak didengarkan oleh mereka.
"Kamu tidak dengar Mamah tadi ngomong apa? Pergi kalian dari sini, dan bawa Adik kalian kembali. Tempat tinggal mereka itu di sini, bukan ditempat orang asing." keukeh keduanya yang nampak saling melengkapi.
Devon mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Apa yang harus dilakukan olehnya sekarang? Ia tak bisa memaksa keduanya kembali dalam waktu secepat ini, namun dirinya pun tak tahan melihat orang tuanya yang nampak kekeh dengan keputusan mereka.
Devon menangis setelahnya. Ia menatap Alissha, yang istrinya pun juga ikut menatapnya. Ia langsung menjatuhkan dirinya diatas dinginnya lantai, lalu berteriak lantang.
"Kamu lihat sekarang. Semua telah berubah seperti dulu lagi, dimana aku merasakan bahagia. Kenapa aku tidak pernah merasakan derita yang sama dengan kedua Adikku? Mereka berhak bahagia bukan? Tapi kenapa hanya aku saja yang harus merasakan hidup nikmat seperti ini. Tak bisakah Tuhan memberikan hal yang serupa dengan kedua Adikku. Tuham tak berlaku adil dengan semuanya bukan?"
Alissha juga turut menangis. Ia tak tahu haris melakukan apa setelahnya.
*****
1067 Kata.
Geser ke bawah, insyaallah ada lanjutan partnya.
Salam dariku semuanya.
By: Vaa_morn
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Fiksi RemajaSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...