Seven

51.5K 2.5K 24
                                    

Apakah Fakta jika hujan mendatangkan akan sejuta rindu dan kenangan masa lalu, yang mengalir mengikuti partikel air yang kita tak tahu sama sekali akan berhenti dimana air hujan itu akan tergenang! Ada yang mengatakan rindu itu tak berbatas. Seperti air hujan yang tak akan pernah habisnya, sebuah rasa itu pun sama karena tak dapat berhenti hanya karena sebuah logika saja.

Nyatanya apa yang kalian pikirkan tidak sebanding dengan pemikiran Ana saat ini. Secara fakta, hujan bukanlah untuk ia yang merasa rapuh akan rindu, melainkan rasa sedih yang meluap begitu saja dengan emosi yang terbakar begitu saja.

Tapi bukan rindu yang sedang ingin dikatakan Ana, melainkan hujan yang ia rasakan berdasarkan fakta. Ia merasa suasana sangat dingin saat itu, dan tentu saja membuat tubuh Ana terasa menggigil karena terlalu lama di bawah hujan.

Hampir semalaman penuh, Ana sama sekali tak memejamkan mata. Bukan hanya itu saja, Ana tak henti-hentinya untuk menyumpal hidungnya dengan tisu karena flu yang tiba-tiba menyerang.

Dan itupun berefek hingga pagi ini. Ia berjalan sempoyongan menuruni tangga dengan kaos sekaligus kemeja kotak-kotak yang ia gunakan. Ia mengikat rambutnya seperti ekor kuda, dengan tas yang ia sampirkan dibahu kanannya. Dan fakta yang baru kita terima sekarang, Ana tetap saja berpenampilan tomboy, meskipun ia sudah tak SMA lagi.

"Non ngapain berangkat.. Kan kondisinya lagi nggak enak badan." protes Bi Ranti yang berada di bawah tangga.

"Ana enggak apa-apa kok Bi, lagian kan ini kali kedua masuk kampus. Masa udah bolos sih." jawab Ana.

Bi Ranti memilih untuk mengangguk saja.
"Jadi lebih baik sekarang, Non Ana sarapan dulu ya." saran Bi Ranti.

Ana langsung menggeleng. "Suwerr, Ana sama sekali nggak laper. Nanti di kampus aja makannya ya Bi. Dan kok tumben, si bocah aneh itu nggak stay di sini?"

Bi Ranti tentu saja mengernyit bingung. Bocah aneh! Siapa? Perasaan tak ada anak kecil sama sekali di rumah ini.

"Bocah aneh siapa Non?" tanya Bi Ranti heran.

Ana menghembuskan napas kesal. "Itu, si Davin. Tumben nggak dateng pagi-pagi ke sini."

Bi Ranti hanya menggaruk-garukkan rambutnya. Pasalnya, Davin sudah datang pagi-pagi sekali dan disuruhnya untuk berangkat awal saja dengan memberikan alasan tentang kondisi Ana. Tentu saja Davin langsung mengangguk, dan menyalami Bi Ranti kemudian untuk pamit.

"Tadi udah kesini Non. Tapi Bibi suruh berangkat saja, karena Bibi berpikir Non Ana butuh istirahat yang cukup." jelas Bi Ranti lagi.

Ana mengangkat kedua sudut bibirnya. "Bagus! Oh ya udah, Ana berangkat dulu ya." pamit Ana.

"Naik apa Non?" tanya Bi Ranti langsung.

"Tenang aja Bi, Ana naik taksi kok. Yaudah ya, Ana pergi dulu ya."

_____

Davin entah kenapa terasa khawatir, ketika mendapati Ana yang terlihat berjalan santai menuju kelasnya yang mungkin sedang berlangsung pembelajaran sekitar setengah jam lalu. Tentu saja Davin dapat melihatnya, karena ia sendiri pun duduk dibangku paling depan, persis dekat pintu yang menghadap langsung kearah pekarangan sekolah.

Memang berbeda gedung antara ia dengan Ana, namun tentu saja gedung mereka masih berdekatan karena bersebarangan langsung.

Davin yang menatap wajah pucat Ana harus terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin Ana termasuk kedalam spesies orang yang memiliki keras kepala tingkat tinggi, sama seperti dirinya.

'Dasar keras kepala.' batin Davin dalam hati.

"Vin, lo kenapa?" bisik Andra yang duduk dibelakang mejanya.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang