Rasanya Ana sangat bahagia hari ini. Sudah tak ada lagi sesuatu hal yang mengganjal dalam hatinya. Kosong! Tak ada kenangan buruk yang melanda hatinya lagi. Karena Ana berusaha untuk ikhlas menerima semuanya.
Memang semalaman penuh ini, yang Ana lakukan hanyalah merenung saja. Merasapi semua yang berada dalam hatinya, hingga akhirnya ia dapat memutuskan semuanya. Baginya sekarang, kembali ke masa lalu, bukan ide yang terlalu buruk.
Ana bersenandung ria dengan tas punggung yang disampurkan dibahu kanannya. Ia akan pergi ke kampus lebih cepat, lalu setelahnya ia akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk orang tuanya. Sungguh jadwal aktivitas yang memang sudah dipikirkan Ana matang-matang semalaman penuh. Ia akan mencoba untuk menerima semuanya, lalu menghapus kenangan buruk itu menjadi suatu awal yang baru.
"Ana, kamu sarapan dulu. Jangan langsung pergi! Kamu butuh asupan gizi, biar nggak kambuh lagi penyakit kamu?!" teriak Merisca yang masih berada di dalam kamar.
Ana mengoceh, sesekali mempraktikan cara Merisca yang selalu menceramahinya di pagi hari. Tidak bisakah, Mamah angkatnya itu berhenti beradu argumen dengannya. Ia begitu bosa mendengar ceramahan Mamah angkatnya itu.
"Iya, Ana pasti makan kalau udah sampai kampus. Bye Mamah, hati-hati dijalan ya nanti!"
Ana yang bergitu keras kepala. Bahkan dengan begitu santai, Ana menuruni tangga dengan ponsel yang digenggam erat pada tangan kanannya. Sedangkan, tangan kirinya memegang erat sepasang sepatu yang nanti aka dikenakannya.
Ana berhenti tepat ditangga terakhir tatkala ia menangkap salah satu objek yang sudah dikenalnya, siapa lagi kalau bukan Aksen. Ana tak bergeming dari tempatnya, ketika ia melihat dengan jelas wajah kacau Aksen.
Penampilan Aksen sangat berantakan saat ini. Rambut yang terlalu acak-acakan, lalu dengan mata yang terus saja mengeluarkan air mata. Ana tak tahu Aksen kenapa, bahkan Aksen langsung berlari kearahnya kemudian memeluknya tanpa aba-aba.
Hap.. Entah mengapa Ana ada sesuatu yang terjadi sekarang, tapi apa? Rasanya begitu nyata, bahwa Aksen sedang menyalurkan rasa sedih padanya. Ana sendiri pun tak tahu harus apa, dia sendiri pun tak tahu pasti dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Mamah udah nggak ada." serak Aksen dengan sedikit terbata-bata.
Deg..
Lelucon macam apa ini! Ana langsung melepas pelukan Aksen dengan paksa, lalu menatap Kakaknya itu dengan garang. Ponsel ataupun sepatunya yang tadinya masih ada dalam genggamannya, langsung raib seketika. Ana menunjuk Aksen, dengan tatapan wajah yang mungkin begitu emosi.
"Candaan Abang sama sekali nggak lucu!" seru Ana yang sepertinya ingin meledakkan emosinya.
Aksen menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, sungguh ia tidak sedang bercanda saat ini.
"Kamu harus tahu, bahwa Mamah sudah nggak ada. Dia sudah meninggalkan dunia ini sekarang. Meninggalkan Papah, meninggalkan Abang, meninggalkan aku, lalu meninggalkan kamu di sini!" ucap Aksen yang mencoba memberitahu semuanya.
Tubuh Ana langsung membeku. Sungguh, ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Terlebih lagi Aksen datang dengan penampilan kacau. Apakah ini benar-benar nyata? Ana sendiri langsung menggeleng cepat, merasa tidak percaya.
"Abang bohong! Ini semacam prank bukan, biar Ana cepat kembali kedalam hidup mereka kan?" Ana menghembuskan napas kasar. "Nyatanya Ana sudah memikirkan semuanya, dan kita akan kembali secepatnya. Abang kan yang bilang dari awal, bahwa kita harus mengawali hidup baru? Okay, Ana sudah setuju sekarang! Kita akan kembali ke masa lalu, dan membuka lembaran baru dari awal. Jadi jangan bilang sesuatu hal yang tidak-tidak lagi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Fiksi RemajaSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...