Setelah sekian lama mereka bercengkerama. Davin kini menganggu-anggukan kepalanya merasa paham. Kini ia mengerti, bahwa masih banyak orang yang tidak beruntung, dan itu lebih buruk darinya. Ia menatap Ana dengan kagum. Memang gadis yang sungguh kuat dalam batinnya.
"Gue inget pertama kali gue ketemu lo. Saat itu gue lagi nangis, dan lo datang terus nyeramahin seakan lo itu kenal gue udah lama. Saat itu, gue juga lagi terpuruk, dan bingung apa yang harus gue lakuin? Dan parahnya, kok gue bisa nggak sadar ya, kalau sebenarnya tuh gue lagi nangis di tempat umum." ucap Ana yang sedikit menggaruk-garuk kepalanya karena bingung.
Davin tertawa. Rasanya sangat lucu, ketika mengingat Ana yang menangis dihadapannya. Meskipun mereka tak saling kenal, namun Ana sudah menjadi daya tarik bagi Davin sendiri. Karena ekspresi Ana yang memang terlihat lucu dimatanya saat itu.
"Lo ternyata bisa ngomong panjang ya. Dulu pas gue ketemu lo di bus, jujur gue kesel banget dicuekkin sama lo. Karena apa? Davin Alexcio Midharja itu nggak pernah dicuekkin orang." ucap Davin yang terlampau percaya diri.
Ana mengerucutkan bibirnya sebal. "Kok lo nyebelin sih!"
Davin terdiam. "Emang gue nyebelin?"
"Lo emang nggak pernah sadar diri. Jadi, lo mau terus di sini?" tanya Ana kemudian.
Davin mengangguk. Ia masih belum menerima kenyataan bahwa dia masih memiliki orang tua lengkap. Dan ia masih ingin meratapi nasibnya yang memang sedari dulu selalu menderita itu.
Ana sebenarnya sedari tadi bergidik ngeri. Lihatlah kondisi Davin saat ini yang tidak bisa dikatakan baik. Bahkan terlihat buruk, dengan bibir yang sudah sangat pucat pasi dihadapannya itu.
"Yakin lo udah niat buat mati kedinginan di sini? Oke fine, gue balik dulu ya." pamit Ana yang kemudian berdiri.
Davin bingung. Ia masih belum ingin mati setelah Ana menyemangatinya. Namun masih ada wanita itu di ruangan sana? Tentu saja Davin tak ingin bertemu dengan wanita itu.
"Oke, kalau lo mau sendiri. Tapi intinya, putus asa boleh, tapi jangan pernah mau menyerah. Ada banyak orang kok, yang memang lebih tidak beruntung dibandingkan dengan kita. Anggap saja itu adalah ujian yang Tuhan berikan untuk kita, dan jalani aja sesuai dengan kemampuan kita."
Ana bangkit dari duduknya, dan berdiri tegap. Ia menatap Davin yang tampaknya masih berpikir keras. Ia menghembuskan napas pelan, lalu bersiap untuk berbalik dan pergi dari tempat. Namun tepat tiga langkah ia berjalan, suara Davin menginterupsinya untuk berhenti. Agak serak didengar, mungkin kondisi Davin sudah sedikit lebih parah.
"Gue ikut lo balik. Tapi bantu gue buat berdiri. Gue nggak mampu." Davin berucap lirih.
Ana mengangguk, kemudian bersiap untuk membantu Davin berdiri. Namun baru saja Davin berdiri tegap, ia langsung terjatuh dan tak sadarkan diri. Tentu saja Ana yang sigap, langsung menopang kepala Davin diatas pahanya.
Tubuh Davin nampak dingin sedingin es. Bibirya yang pucat pasi. Lalu dengan ada beberapa titik perban ditubuhnya. Ana lagi-lagi bergidik. Dengan tenaga yang masih tersisa, ia mulai mengambil ponselnya disaku jaketnya. Namun sebelum itu, ia melepas jaketnya, kemudian menyelimutkan pada tubuh Davin yang sedang tak sadarkan diri itu.
"Pakai acara mati segala nih handphone. Terus gue harus gimana sekarang?" tanya Ana pada diri sendiri.
_____
Aksen menopang dagunya diatas meja. Ia tak tahu semua orang berada dimana, padahal hari sudah mulai menggelap. Dan tak ada seseorang sama sekali yang menghubunginya. Mereka sungguh kelewatan sekarang!
Aksen lapar, dan ia sama sekali tak tahu harus bagaimana. Memasak pun ia tak bisa, terlebih untuk menyalakan kompor ia tak berani. Mau tak mau, ia harus keluar sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Fiksi RemajaSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...