Thirtty Nine

39.4K 1.7K 5
                                    

Ana mengaduk-aduk kopinya yang sudah tak panas lagi. Pikirannya tak tahu pergi ke mana, bahkan fokus matanya terlihat kosong tanpa ada salah satu benda yang terbidik jelas.

Baru saja ia dikabari oleh Kakaknya bahwa orang tuanya baru saja masuk kedalam rumah sakit. Aksen yang mendengar saja pun lantas pergi menuju rumah sakit yang seharusnya dituju oleh mereka, nyatanya tidak! Ana memilih untuk tetap tinggal di rumah saha. Ia juga tak mau jika Merisca kembali ke dalam rumah, dalam keadaan tak ada siapapun yang menjaganya.

Ana mengingat ucapan Aksen tempo lalu, di saat mereka baru saja menerima kabar buruk itu. Ya, Aksen mengajaknya untuk kesana. Namun Ana tak mengindahkan ucapan Aksen itu. Bukan ia tak ingin menjenguk, hanya saja ucapan dari Aksen telah membuatnya bungkam. Ia masih belum bisa percaya dengan kata-kata Aksen sebelumnya.

Flashback On.

Ana dan Aksen baru saja pulang dari kampus. Mereka langsung duduk berdampingan di depan layar tv, namun fokusnya tak berada ditempat. Baru saja, mereka akan memejamkan mata, dering telepon langsung membuyarkan semuanya.

"Halo." ucap Ana yang mengangkat telepon itu.

"...."

"Papah sama Mamah masuk rumah sakit. Sejak kapan?" tanya Ana yang sepertinya ada sedikit rasa khawatir di wajahnya.

Aksen yang mendengarnya pun langsung merebut ponsel Ana dan berjalan entah kemana. Ana yang sedari awal sedang tidak fokus, langsung saja tak bergeming dari tempat. Pikirannya pun sudah sangat tak tenang, memori otaknya kembali menerawang jauh ke masa lalu. Namun tetap saja ia menolak semuanya!

"Ayo kita kerumah sakit sekarang?" ajak Aksen yang sudah meletakkan ponselnya di samping Ana.

Ana menoleh kearah Aksen tak bergairah. Ia tak tahu harus apa, intinya ia merasa tak enak dengan Mamahnya tempo lalu.

Ia ingat pada kemarin pagi, Mamahnya telah menyiapkan semuanya untuknya ketika ia berada di sana. Namun ia sama sekali tak menerima, terlebih lagi ia memilih untuk diam saja dan menolak secara halus. Tentu saja Mamahnya tak punya cara lain untuk memaksanya kembali.

Terlebih Alissha mengatakan padanya bahwa Mamahnya dengan semangat 45 sudah berbelanja ke pasar pada pagi-pagi sekali. Dan mereka dengan teganya, sama sekali tak menghargai perjuangan Mamanya. Mungkin rasa sakit yang ia berikan kepada Mamahnya sudah sangat bersar, dan akan terlalu membekas di dalam hati.

"Haruskah kita ke sana?" tanya Ana yang mungkin terlalu polos, dan terlihat sangat santai bila di dengar.

Aksen langsung menatap wajah Ana dan meneliti setiap incinya. Tak ada kebohongan di sana, Ana mengatakannya dengan penuh kejujuran.

"Kamu masih nanya seperti itu? Iyalah kita harus ke sana, mereka orang tua kita." jawab Aksen.

"Dengan kita melupakan semua yang sudah terjadi? Maaf, Ana rasa, Ana nggak terlalu tegar untuk datang ke sana tanpa sekuat hati." jawab Ana yang setengahnya adalah berbohong. Tentu saja karena Ana merasa tak enak dengan Mamahnya kemarin pagi.

"Kamu nggak bohong soal itu kan? Ana, dengerin Abang. Seburuk atau sejahat apapun mereka, tak pernah menutup kemungkinan bahwa mereka adalah orang tua kita. Mereka yang telah membuat kita lahir di dunia, kamu mau jadi anak durhaka?"

Ana menggeleng. Ia tak mungkin mau menjadi anak durhaka. Tapi rasanya begitu berat, ketika ia harus menenggelamkan egonya begitu saja.

"Abang yakin kuat, ketika harus dihadapkan mereka?" tanya Ana kemudian.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang