Forty Two

38.1K 1.8K 55
                                    

Ana menatap kosong gundukan tanah di depannya. Ia masih belum percaya, bahwa Mamahnya akan pergi begitu cepat. Dan saking cepatnya, ia tak diberikan waktu untuk mengucapkan kata maaf ataupun sebuah salam perpisahan darinya itu.

Ia serba salah. Mau menyalahkan diri sendiri pun, semuanya sudah terlambat. Berbeda jika ia langsung memberi kesempatan, lalu berbahagia selanjutnya. Rasanya Tuhan selalu tak bertindak adil dengannya hingga saat ini.

Papahnya terus saja memeluk batu nisan Mamahnya. Ia menangis tersedu-sedu, karena tak becus menjadi kepala keluarga yang baik bagi mereka. Tubuhnya yang kurus kering itu, tak mampu menahan dirinya untuk tidak terbatuk-batuk karena tenggorokannya yang selalu kering.

Hal itu juga dialami oleh Devon dan Alissha. Mereka tak kuasa untuk menahan tangis, saking beratnya meninggalkan tempat itu. Mereka tak cukup tega meninggalkan Mamahnya seorang diri di sini, ia tak cukup mampu untuk itu. Terlebih lagi tak ada seseorang yang dikenal Mamahnya ditempat ini, rasanya Mamahnya itu akan selalu sendiri, meskipun ada Tuhan yang menemaninya.

Sedangkan Aksen berada di sampingnya saat ini. Sama sekali tak ada air mata yang keluar lagi, ia terlihat lebih tegar dari semuanya. Sedangkan Ana sendiri, terus saja mengalirkan air matanya dalam diam, dirinya pun tak sanggup menyembunyikan rasa lukanya.

"Maafkan aku sayang. Aku masih belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik buat kamu dan anak-anak kita. A.. Aku sadar, aku yang telah merubah sebuah kebahagian kita yang pernah kita rasakan dulu. Maaf, aku belum bisa menjadi yang terbaik untuk mereka." ucap Papahnya sesekali menyium-nyium batu nisan dihadapannya.

Ana tertohok seketika. Ia yang bersalah di sini. Ia yang telah membuat semua orang menjadi seperti ini. Ana terduduk lemas, ia mengeluarkan tangisnya seketika.

"Maaf! Maaf untuk aku yang tak pernah mengerti perasaan kalian. Aku sadar, aku yang sebenarnya salah di sini. Jika aku tak mementingkan ego, mungkin Mamah masih ada di sini. Maaf sekali lagi, maaf." ucap Ana sesekali membenturkan tangannya diatas tanah.

Aksen tak tahu harus apa. Ia pun juga sepertinya salah di sini. Aksen mulai berjongkok di samping Ana, kemudian menatap ketiga orang yang masih menangis di depannya.

"Aku juga minta maaf. Maaf, karena aku lebih mementingkan ego ketimbang kalian. Tapi jujur, aku merasa sangat sakit ketika harus kembali dengan kondisi yang masih belum berubah. Aku tak tahu harus bagaimana hingga saat ini! A.. Aku.."

Alissha yang menoleh kebelakang, langsung berlari kemudian memeluk keduanya menguatkan. Alissha tahu, kedua Adiknya lah yang seharusnya diberikan banyak dukungan. Pada intinya kedua Adiknya itu sama sekali tak bersalah di sini. Karena ini sudah kehendak Tuhan dan takdir Mamahnya untuk secepatnya pergi.

"Kalian yang sabar ya, Mbak Alissha tau bahwa kalian sangat terpukul untuk kondisi ini."

Aksen dan Ana hanya mengangguk. Rasanya begitu sulit ketika mereka mencoba untuk kembali, namun harus merelakan seseorang untuk pergi. Mereka memang ingin membuka lembaran baru, tapi bukan berarti ia harus kehilangan orang yang mereka sayangi. Mereka tak bisa lagi mendefinisikan perasaan yang mereka sendiri merasakan.

Dilain sisi, tiga orang yang berdiri tak jauh dari tempat mereka, harus saling berbagi kekuatan. Ya ada Merisca yang kini telah kembali bersama suami dan Anaknya, Davin. Tentu saja dengan ia merelakan Ana dan Aksen yang selama ini menemaninya, jika mereka memang ingin pergi dari kehidupan Merisca itu.

"Aku harap, mereka diberikan hati untuk selalu tabah. Aku tak tahu harus bagaimana, jika kedua anak itu lagi-lagi harus drop. Terlebih Aksen yang terkena syndrom yang jarang ditemukan banyak orang." ucap Merisca yang merapatkan tubuhnya di samping Ferdi, rasanya berdiri saja itu susah.

"Syndrom apa yang Mamah maksud?" tanya Davin yang sepertinya kekurangan info tentang Aksen itu.

"Self Injury." jawab Merisca pelan.

Davin mengangguk paham. Semacam penyakit yang mungkin akan puas jika dia yang mengidapnya, sering melukai dirinya sendiri ketika emosi. Paling tidak, Davin tak terlalu bodoh untuk soal-soal seperti ini.

"Mari kita gabung ke sana. Mereka butuh dukungan kita sekarang." ajak Ferdi yang kemudian berjalan mendahalui Davin bersama istrinya.

Sedangkan Davin memilih untuk mengikutinya saja dari belakang. Meskipun dalam hati ia berdoa, semoga saja Ana tetap tegar dalam menjalani ujian hidupnya.

______

Lagi-lagi, semuanya kembali berubah. Tak ada yang bahagia atapun bersuara. Di dalam bangunan ini, mereka sama-sama bungkam seakan-akan mereka adalah orang bisu yang tak bisa berbicara apa-apa.

Pemakaman Mamahnya berlangsung khidmat pagi tadi. Meskipun harus diguyur oleh gerimis yang membasahi bumi lebih dulu, itu tak membuat mereka menunda-nunda pemakaman Mamahnya. Walaupun agak becek, itu tak membuat mereka untuk tidak mengikuti acara pengistirahatan terakhir orang yang disayang olehnya.

Papahnya menatap sebuah frame yang terpaku di dinding. Ia mengeluarkan air mata dalam diam, sesekali mengelus-elus benda itu dengan sayang.

Devon dan Alissha, ia hanya menatap Papah mereka dengan sirat penuh luka. Rasanya sedih sekali, ketika melihat orang yang kita sayang sedang dalam tahap sebegitu terpuruknya.

Aksen berada disudut ruangan itu, yang sama sekali kurang terlihat oleh para mata yang ada di sana. Sungguh strategis, ia terus  memegangi cutter kecil yang sedari tadi sudah diambilnya dari dalam saku. Antara ingin melakukan, namun diurungkan. Bingung apa yang harus ia lakukan sekarang? Intinya Aksen sangat terpuruk dan ingin meluapkan semuanya dengan benda itu.

Sedangkan mata Ana terus saja mengunci pergerakkan Aksen yang sedikit ambigu itu. Ia tahu apa yang direncanakan Aksen sekarang. Tepat, kini Aksen menggoreskan cutter itu ke tangannya.

"Nggak!" seru Ana yang kemudian berlari mendekati Aksen. Ia terus saja merebut benda tajam itu dari tangannya, namun tenaganya saja yang tidak sebanding. Sehingga Ana langsung tersungkur keatas lantai.

Papahnya yang tersadar dengan seruan Ana itu langsung menoleh, ia tentu saja tak tahu apa yang terjadi, karena Aksen yang terhalang oleh lemari. Ia mendekat, kemudian ikut histeris juga.

"Nggak Aksen! Papah nggak mau kehilangan seseorang untuk yang kedua kali. Lepaskan itu sekarang!" seru Papahnya yang kemudian membantu Ana untuk terbangun.

Aksen menggeleng lemah. Ia terus memainkan benda tajam itu kemudian menggoreskan ketangannya kembali.

"No!" Papahnya langsung merebut benda tajam itu kemudian membuangnya. "Kamu nggak sendiri lagi, ada kami di sini yang akan bersamamu."

Aksen menangis. "Tapi Mamah meninggalkan semuanya itu karena salahku, aku yang salah Pah! Aku yang salah!"

Papahnya menggeleng pelan, kemudian mendekap tubuh Aksen erat. "Ini semua sudah akdir sayang, bukan salahmu."

Aksen tak menjawab. Ia menikmati dekapan Papahnya untuk pertama kali, setelah beberapa saat lamanya. Ia memejamkan mata, berharap ini bukan hanya bayangan semu semata.

Devon dan Alissha berjalan mendekati Ana yang kemudian merangkulnya. Memberikan sebuah kekuatan agar Ana tetap bangkit.

"Kalian anak Papah, dan Papah akan selalu menjaga kalian hingga Papah menyusul  Mamah kalian nanti dialam sana. Papah hanya berharap, kalian bisa memberikan kesempatan agar Papah bisa menjadi orang tua yang terbaik buat kalian." ucap Papahnya sambil menelisik setiap inci wajah Anak-anaknya.

"Tak ada lagi pertikaian, tak ada lagi pertengkaran ataupun permusuhan. Papah harap kalian bisa rukun satu sama lain dalam kebersamaan. Papah tak ingin membeda-bedakan kalian lagi, karena kalian sama-sama Anak Papah."

Saat itu juga, mereka saling berpelukan satu sama lain, membentuk sebuah kekuatan agar mereka bisa bersama-sama lagi. Mereka berharap dalam hati, semoga saja ini benar-benar nyata dan berlaku untuk selamanya.

*****

1147 Kata.

Kok kayaknye cepet banget? Kaya ada banyak skip gitu?

Lebih cepat, lebih baik bukan. Aku aja bingung haha.. :)

By: Vaa_morn.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang