Alissha mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Ia sungguh terlalu banyak pikiran saat ini, untuk itu ia tak dapat berpikir jernih meskipun hanya sebatas tetesan air saja.
Ia tinggal di Apertemen seorang diri. Tak ada yang menemani, mungkin ini karma yang diberikan Tuhan karena tak tahu balas budi. Ya, setelah kedua Adik Iparnya pergi entah kemana, ia pun juga turut pergi ketika semua sudah terlarut dalam tidurnya. Antara bersalah, takut, sekaligus menyesal bercampur aduk dalam lubuk hatinya. Entah apa yang dirasakan saat itu, sehingga tanpa berpikir panjang, ia pun turut pergi dan meninggalkan semuanya.
Telah berulang kali ia membuka lockscreen ponselnya. Tak ada yang berbeda, mungkin karena ia telah memutuskan semuanya untuk hal yang baru. Hanya saja terpajang foto Devon yang memang selalu menjadi walpaper ponsel. Hanya itu saja kenangan lamanya!
Menyesal? Pasti, apa yang dilakukan olehnya itu sama saja seorang pecundang. Beberapa saat lamanya, ia mulai mengotak-atik ponselnya dan terteralah nomor Devon di sana.
Antara ingin mendial, namun takut bahwa nomor suaminya sudah tak aktif, mungkin itu yang menyelimuti hatinya saat ini. Dengan tangan yang masih bergetar, Alissha langsung mendial nomor itu.
Satu kali mendial, tak ada jawaban.
Dua kali mendial, masih sama seperti jawaban sebelumnya.
Dan tiga kali mendial, nomor itu langsung tersambung kemudian terangkat."Halo.."
Alissha menggigit bawah bibirnya untuk tidak bergetar. Air matanya langsung lolos begitu saja ketika mendengar suara itu, dengan seluruh tubuhnya yang sudah sangat bergetar. Ya, suara yang sudah lama sangat dirindukan olehnya itu.
"Maaf, ini dengan siapa?" tanya Devon di seberang sana.
Alissha memejamkan matanya. Perih rasanya, ketika mendengar suara Devon yang terlihat serak. Ia berusaha untuk meneguhkan hati, dengan sesenggukan yang sudah sangat terasa.
"Maaf." lirih Alissha pelan dan semoga saja masih bisa terdengar di seberang sana.
Tepat, Devon yang mendengar lirihan suara Alissha dari dalam telepon, langsung saja menitikkan air mata. Ia cukup tak asing dengan suara itu, terlebih suara itu sangat dirindukannya dari dulu. Untuk itu, Devon masih sangat mengenalnya.
"Sayang, kamu kah itu?"
Alissha mengangguk cepat setelahnya. Tentu saja tak dapat dilihat oleh Devon. Namun Devon tahu, pasti istrinya sedang menangis saat ini. Terbukti dengan suara isakkan dari dalam teleponyya.
"Maafin aku." pinta Alissha sambil terus menahan air matanya agar tak keluar kembali.
"Kamu dimana sekarang? Kamu tahu, aku udah cari kamu kemana-mana, namun usahaku tak pernah membuahkan hasil hingga sekarang. Tolong kasih tahu tempat kamu berada."
Alissha terdiam cukup lama, namun setelahnya ia mematikan sambungan ponselnya cepat-cepat. Ia sudah tak tahan lagi walau sekedar mengucapkan satu patah kata saja. Ia langsung melempar ponselnya begitu saja, setelah itu ia beranjak tidur dengan deraian air mata yang berjejak.
_____
Ana berjongkok di samping pembatas balkon kamarnya. Tak beralaskan apapun memang, selain lantai yang dingin tanpa adanya penghangat yang menyarapinya. Namun biarlah itu sesuai kemauannya, dan kemauannya sampai sekarang masih sama dibuatnya. Merenung.
Ana tak banyak tingkah disana. Selain menunduk, lalu menegakkan kepalanya yang langsung menghadap langit yang terlihat pekat. Tak ada bintang maupun bulan yang menyinari, mungkin cuaca mendung untuk saat ini. Begitulah alur pikirnya saat ini.
"Non, belum tidur." tanya Bi Ranti yang memasuki kamarnya dengan segelas susu panas yang dibawanya.
"Seperti yang Bibi lihat saat ini." jawab Ana seadanya tanpa berniat untuk berpikir panjang. Biarlah hari ini berjalan lagi sesuai kehendaknya, tak siapapun yang akan berani melarangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Roman pour AdolescentsSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...