Thirtty Two

41.6K 1.9K 14
                                    

Mata Ana membengkak. Lingkar hitam pun terlihat jelas dimatanya. Mungkin semalaman penuh ini, ia hanya tidur dua jam saja.

Untung saja ini hari libur, jadi Ana tak perlu menahan kantuk di kampus nanti. Terlebih lagi akan ada Arkan yang selalu merecokinya di sana, takkan tahan ia menerima semuanya yang terjadi di sana.

Aksen sudah sadar, namun yang Aksen lakukan hanyalah termenung tanpa ada gairah sama sekali untuk melanjutkan hidup. Ana pun memilih untuk diam saja di didepan pintu, dan ia sendiri pun sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Mungkin, ia merasakan apa yang Aksen rasa.

"Gue yakin Aksen itu Anak yang kuat. Dia pasti nggak akan melukai dirinya sendiri, yang membuat nyawanya dalam bahaya. Gue yakin Aksen akan selalu berdiri, karena ada lo di sampingnya." ucap seseorang membuat Ana cepat-cepat menoleh.

Alissha yang berada di sampingnya, seakan memberi dukungan penuh agar dirinya tak patah semangat. Tanpa senyuman sedikitpun, ia kembali menghadap Aksen yang terus saja mamatung ditempat.

"Lo lihat sendiri kan Mbak. Aksen nggak kayak dulu. Dia lebih suka memendam apapun seorang diri, seakan dia itu nggak punya siapa-siapa di sini. Gue ngrasa nggak dianggap ada sama dia. Apa yang harus gue  lakuin, disaat Aksen seperti itu? Hanya menonton saja kan Mbak, dan itu seperti sekarang ini. Seakan tuh gue nggak punya solusi untuk membantunya." jawab Ana dengan bibir yang dimiringkan keatas.

"Gue nggak nyangka lo bisa seputus asa gitu. Dari dulu gue selalu bangga sama lo, karena lo itu bisa sekuat batu. Tapi kayakya keadaan sudah terbalik sekarang."

Ana mendudukkan dirinya diatas lantai. "Lo bisa lihat gue yang nggak bisa apa-apa sekarang! Keadaan sekarang sudah berubah Mbak, dan gue bukan Ana yang seperti dulu. Ada kalanya bukan, manusia berubah untuk kelangsungan hidup. Adakalanya, manusia berubah karena menyerah dengan keadaan. Dan itu gue!"

Alissha pun turut mendudukkan dirinya di samping Ana. Ia merasa, ini sudah terjadi setelah sekian lama. Ya, dimana hari libur seperti ini, ia dan Ana saling bertukar cerita dan tertawa. Namun kali ini beda, Ana yang dilihatnya adalah Ana yang jauh lebih  rapuh dari sebelumnya. Ia terlihat lebih gampang menyerah, ketimbang melawannya.

"Gue yakin, lo bisa lebih kuat dari sebelumnya. Mantapkan hati lo dan tatap ke depan sana, lo pasti bisa melakuin itu Na. Seperti dulu, ketika lo bisa mengubah segalanya yang tak mungkin. Bisa menjadi mungkin ditangan lo. Lo pasti bisa." ucap Alissha menyemangati.

Ana menatap ke depan. Benar saja apa yang diucapkan Alissha, ia tak boleh gampang menyerah dengan masalah seperti itu. Ia harus melawannya, termasuk menghadapi keluarganya sendiri dan bertahan di sana.

"Gue pikir dengan kita melawan masa lalu. Maka masalah yang gue dapet, akan cepat usai nanti. Nyatanya masalah itu semakin banyak dan menghantui gue. Terkadang gue ngomong sama diri sendiri, kenapa gue terlalu lemah. Dan jawaban diri gue, karena lo itu selalu menyalahkan takdir. Untuk itu lo gampang nyerah." ucap Ana yang sedikit menguap menahan rasa kantuk.

"Gue yakin lo pasti bisa Na." balas Alissha yang tak pernah bosan menyemangati.

"Thanks, gue harap gue masih merubah segalanya. Termasuk rasa sakit hati gue terhadap masa lalu." ucap Ana yang kemudian bangkit dari duduknya.

Alissha mengangguk, lalu ikut juga berdiri. Ana masuk kedalam kamar yang dipakai Aksen, yang masih terus-terusan termenung. Ana tersenyum getir melihat kondisi Kakaknya, namun tak akan dibiarkan lama-lama.

"Bang Aksen." panggil Ana sudah berada dihadapan Aksen. Namun Aksen, sama sekali tak menyadari kehadirannya.

Aksen yang pendengarannya sedikit terusik, langsung menoleh. Ia mendapati Ana di hadapannya, yang mungkin sebelumnya ia berpikiran bahwa akan ada yang memisahkannya sekarang. Ternyata tidak, Ana berada di hadapannya dengan senyuman yang mengembang diwajahnya.

"Abang pikir, Abang di sini sendiri. Ternyata ada kamu juga. Abang seneng banget ngelihat kamu sekarang." ucap Aksen yang tampak pikir panjang langsung memeluk Ana.

Ketika ia sadar tadi, yang ia ingat adalah kejadian terakhir kali di tempat makan itu. Dimana ia langsung kehilangan kendali, dan meronta-ronta tanpa henti di sana. Aksen jadi tersenyum miris dengan dirinya sendiri, kenapa rasanya begitu susah untuk mengendalikan dirinya sendiri di saat seperti itu. Bahkan ia pun tak merasa malu dengan apa yang terjadi dengan dirinya.

Terlebih, ia berpikiran bahwa semua orang akan memisahkan dirinya dengan Ana. Dan tinggalah dirinya seorang diri di sana. Namun pikirannya salah, Ana sudah berada dalam dekapannya secara nyata. Ia pikir ia akan kehilangan semuanya lagi.

"Selalu ingat, bahwa Abang akan pernah sendiri lagi. Ana akan siap menjaga Abang disetiap waktu. Dan Abang pun akan menjaga Ana sampai kapanpun. Abang sudah janji kan, kalau kita akan saling menjaga?" jawab Ana dengan suara yang sedikit serak.

Aksen mengangguk. Ia sedikit lupa, bahwa ia pernah berjanji dengan Ana sebelumnya. Ia melepas pelukannya, kemudiam menatap Ana dengan tatapan sayang.

"Ana kemarin malam nggak kenapa-napa kan. Ana kemana saja?" tanya Aksen yang sepertinya sudah sedikit hafal dengan rentetan-rentetan memory dalam ingatannya.

"Maaf, Ana ikut cari Davin yang memang kemarin sempat kabur dari rumah sakit." jawab Ana jujur.

"Rumah sakit? Kenapa?" tanya Aksen yang terlihat bingung.

"Iya, dia kecelakaan. Dan Abang harus tahu, kalau Davin itu anak kandungnya Mamah Merisca, jadi aku membantu mencarinya karena Mamah yang dirundung putus asa. Dunia cukup sempit bukan!"

Aksen kaget, namun akhirnya memilih untuk mengangguk-angguk saja. Ngomong-ngomong soal Merisca, ia teringat sesuatu.

"Ayo ke rumah sakit, aku ingin bertemu dengan Mamah sekarang." ajak Aksen yang sedikit memohon pada Ana.

Ana mendengus kasar. Ia ingin tidur sekarang, bukan untuk berpergian lagi. Sudah cukup sedari tadi pagi, ia sudah cukup terjaga dari sekian lamanya itu.

"Nanti sore aja ya Bang. Ana pengin istirahat." tolak Ana sambil mengucek-ucek matany.

"Please, Abang masih nggak paham jalanan  sini. Kamu mau Abang nyasar?"

Ana sedikit menepuk jidat, kemudian mengangguk-angguk saja. Jika ia tak menuruti permintaan Kakaknya, maka ia tak akan mau membayangkan dengan apa yang terjadi dengan Kakaknya dijalanan nanti. Termasuk tersesat di kota besar!

Dengan malas-malasan, Ana mengangguk. "Oke, Kakak jalan duluan."

Aksen tersenyum menang. Sebenarnya ia tak ingin menyusahkan Adiknya. Namun bagaimana lagi, ia masih belum sepenuhnya paham dengan lika-liku kota barunya ini.

Baru saja mereka sampai ditangga paling bawah, suara seseorang menginterupsi jalan mereka.

"Kalian mau kemana?" tanya seseorang yang suaranya masih sangat dihafal oleh keduanya diluar kepala.

Aksen memilih untuk berjalan saja. Sedangkan Ana berhenti kemudian sedikit tersenyum.

"Kita mau pergi dulu Bang. Thanks karena udah jaga Aksen, kita pergi dulu." pamit Ana pada Devon.

Ana sudah berlari menyusul Aksen yang sudah melangkah jauh. Sedangkan Davin hanya menatap keduanya dengan nanar.

"Tapi kan ini rumah kalian." Devon berucap lirih, tentu saja tak di dengar oleh siapapun. Mungkin bisa dikatakan, hanya sekedar angin lewat saja.

*****

1104 Kata.

Hanya ini saja ide yang keluar :(

By: Vaa_morn.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang