Twenty Two

42.6K 2.1K 68
                                    

Ana membuka matanya perlahan. Bingung, mengapa Ana sudah berada di kamarnya? Namun, apa yang ia rasakan setelahnya adalah rasa nyeri yang lagi-lagi menyerang perutnya.

Ana menatap kesekeliling kamarnya yang masih terlihat sama. Namun di tempat belajarnya, terdapat gambaran seseorang yang tertidur pulas seperti merasa gurat  kelelahan diwajahnya. Ya, Davin yang sedang tidur di sana saat ini. Bahkan ia terlihat berbeda dengan Davin versi sebelumnya yang mempunyai kepercayaan diri tingkat akut. Karena Davin yang terlihat sekarang, adalah Davin yang apa adanya dengan wajah polos yang tak dibuat-buat secara sengaja.

BraKKKK..

Aksen masuk ke dalam kamarnya dengan cara membanting pintu, tentu saja Ana terlonjak kaget. Aksen datang dengan wajah yang terlihat panik, serta penampilan yang terlihat kacau dengan rambut yang terlihat acak-acakan.

"Kenapa kamu nggak sarapan dulu sebelum pergi? Tahukan, Abang nggak mantau kamu karena buru-buru jemput Mamah di Bandara!" seru Aksen yang terlihat emosi jika dilihat dari jarak dekat.

Davin langsung terbangun dengan perasaan yang kaget bercampur luar biasa. Ia menatap Aksen yang terlihat emosi, dengan Ana yang sedikit menunduk karena rasa takut.

"Untung aja ada Davin. Kalau nggak ada gimana? Abang pasti nggak akan tahu dengan kondisi kamu sekarang. Tahu kan, kesehatan itu harus dijaga sebaik-baiknya!" seru Aksen kembali.

Ana menunduk dalam-dalam. Rasanya sakit jika harus dilontarkan dengan kata-kata. Namun ia tahu, Kakaknya seperti ini karena apa. Ana menatap manik mata Aksen dengan penuh harap.

"Maaf, Ana nggak sengaja. Janji! Ana nggak akan ngulangin itu semua lagi." jawab Ana dengan sedikit rasa bersalah.

Aksen menghembuskan napasnya kasar. "Oke, Abang akan pegang janji kamu. Tapi ingat, kalau kamu masih ngelakuin hal yang sama, Abang nggak akan segan-segan hukum kamu lagi. Termasuk sewa bodyguard nanti!"

Ana tentu saja membelalakkan matanya tak percaya. Apa-apaan ini, sewa bodyguard! Ana tentu saja bersikeras untuk menolak semua itu. Butuh digaris bawahi, tipe seperti Ana itu adalah tipe yang menyukai kebebasan. Ingat itu!

Prokk.. Prokk.. Prokk..

Davin bertepuk tangan, merasa kagum dengan kedua saudara yang saling menyayangi dan melengkapi. Ingin rasanya Davin seperti Ana, namun apa daya jika dirinya hanyalah anak tunggal.

"Entah kenapa melihat kalian yang seperti ini, membuat gue kagum sekaligus terinspirasi dengan tali persaudaraan kalian." tutur Davin yang kesadarannya sudah mulai penuh.

Aksen bersedekap dada seakan-akan menyombongkan diri. "Jelaslah, gue gitu loh."

"Nyesel gue muji lo Sen." cibir Davin yang kemudian memutar bola matanya malas.

BrakkKKK..

Lagi-lagi, pintu kamar Ana dibanting lagi oleh seseorang. Tentu saja membuat ketiganya yang masih bercengkerama langsung terlonjak kaget. Terlebih Davin, ia langsung jatuh dari kursi yang diduduki olehnya.

"Mana Ana Sen? Mamah ingin ketemu." tutur orang itu dengan nafas yang sedikit tersendat-sendat.

Aksen menoleh, lalu mendapati seorang wanita yang selama ini berada di sampingnya, Ya itu Merisca. Penampilan wanita itu tak beda jauh darinya, buruk jika dipandang mata tanpa perantara lain.

"Ana nggak apa-apa kok Mah, hanya telat makan. Maaf juga, Aksen nggak jadi jemput. Tapi jujur, Aksen udah sangat khawatir sama dia lebih dari nyawa Aksen." tanya Aksen yang kemudian menyalaminya.

"Bener kata Abang Mah, Ana nggak apa-apa kok. Maaf udah buat kalian khawatir." dukung Ana yang sedikit melontarkan senyum.

Merisca mengangguk. Kemudian ia melangkah menuju tempat Ana berada. Sedangkan Davin, ia mengambil ponselnya yang berada di saku, dan memainkan game di sana. Ia tak ingin mengganggu sepasang Ibu dan Anak yang saling bertemu untuk waktu yang sekian lama.

Everything Has Changed (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang