Ana menata buku satu persatu dan berniat membawanya keluar dari kelas menuju Perpustakaan. Sambil menyumpal telinganya dengan untaian nada dari earphone, ia berjalan dengan santai tanpa mempedulikan orang lain yang menatapnya.
Tepat di depan sana, Ana lagi-lagi harus berhadapan dengan Gina. Terlebih, Gina terus menatapnya tajam saat ini. Bukan! Bukan karena Ana merasa takut, hanya saja ia bosan melihat wajah dia yang terus saja terlihat polos dan tak pernah sadar diri juga. Apakah ingatannya belum juga pulih hingga saat ini?
Baru saja Ana memikirkan Gina yang dulunya Amnesia, Anak itu sudah berada dihadapannya dan memberhentikan langkah jalannya. Ana mengangkat wajahnya seolah menantang, sedangkan Gina melipat kedua tangannya sambil bersedekap dada.
"Lama tidak jumpa. Berapa hari kita nggak ketemu?" ucap Gina sambil tersenyum sinis.
Ana membalas dengan senyuman sinis pula. Ingin sekali ia cepat-cepat pergi dari sini setelahnya, dan tak bertemu lagi dengan wajah-wajah songong sepertinya lagi.
"Kenapa? Kangen lo sama gue?" tanya Ana langsung.
"Nggak! Hanya saja gue pengin ngingetin supaya lo.."
Ana memotong ucapan Gina dengan cepat. "Jauhi Arkan, right?"
Gina menggangguk angkuh. "Udah sadar diri kan sekarang?"
Ana tertawa renyah. Seperti bahwa yang diucapkan Gina adalah bualan semata. Apakah Gina semakin bertambah Amnesia sekarang? Itulah pikiran Ana saat ini yang sadar betul bahwa Gina sampai sekarang tak pernah tahu diri.
"Gue sih malu kalau jadi lo, udah ngerusak hubungan orang, nggak sadar diri pula. Ingat lo masih pijak tanah, dan belum saatnya lo melambung ke langit. Udah menata hati dan pikiran belum? Kalau belum, tata sedemikian rupa hati lo itu, biar nanti nggak jadi pengrusak hubungan lagi."
PlaKKKK..
Tamparan keras Gina layangkan kepada seseorang yang berada dihadapannya. Tentu saja menggema diseluruh koridor Kampus. Ana memejamkan mata, sepertinya tangan Gina sama sekali tak menyentuh kulitnya. Ana membuka matanya perlahan, dan baru menyadari korban tamparan itu bukan jatuh pada dirinya.
"Arkan." ucap Gina lirih, sembari menatap tangannya yang baru saja menampar pujaan hatinya itu.
Arkan tersenyum miring. "Lo nggak ada berubahnya sama sekali ya. Udah gue bilang berapa kali, gue khilaf bisa pacaran sama lo. Kenapa nggak sadar-sadar juga sih!" seru Arkan pada Gina.
Gina menatap Arkan dengan mata yang sudah sangat memanas. Rasa-rasanya, ia ingin menangis saat itu juga.
"Aku masih pacar kamu Arkan. Kenapa kamu bela orang lain sih, diantara hubungan yang kita jalin ini. Aku masih cinta sama kamu, tolong! Hargai perasaan aku sedikit saja, kalau aku itu benar-benar cinta dan sayang sama kamu hingga waktu yang masih berjalan ini." jawab Gina yang memang sudah berderaian air mata.
Arkan tertawa sumbang. Sepertinya Gina tak pernah sadar diri, bukankah dia sudah menghentikan hubungan yang terlanjur salah ini sebelumnya?
"Butuh gue ingatkan, kalau kita itu udah putus. Jadi nggak ada apa-apa lagi diantara kita." peringat Arkan sambil mengangkat telunjuk kanannya.
"Gue belum ngomong iya untuk mengakhiri hubungan kita. Jadi status kita sekarang itu masih dalam tahap menjalin kasih. Ingat itu!" seru Gina yang sudah menangis histeris.
"Oke, jadi mulai detik ini gue mau minta putus lagi sama lo!" seru Arkan lagi.
"Gue nggak mau." tolak Gina mentah-mentah.
"Kalau gitu, gua bakal paksa lo buat putusin gue." ucap Arkan yang kemudian menarik Gina ke lapangan kampus ditengah sana.
Arkan berlari entah kemana, sedangkan Gina masih menangis ditengah lapangan sana yang terlihat tak ada penghuni. Tepat sepeluh menit waktu yang berjalan, Arkan sudah terlihat jelas berada diujung rooftop Kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Teen FictionSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...