Ana memijit pelipisnya yang terasa pusing. Berulang kali ia menahan napas untuk tidak berteriak meluapkan segala emosi, dan itu selalu berhasil dilakukannya.
Sambil memegangi ponsel yang berada disamping telinganya, ia terus beradu argumen tanpa pandang bulu. Biarlah ia terlihat tak sopan, toh ini demi Kakaknya
"Jadi, Aksen sama sekali belum sembuh total?" tanya Ana sambil mengusap-usap wajahnya. Sesekali ia menurunkan volume telepon, berharap seseorang yang berada diluar kamarnya tak mendengarnya.
"..."
"Terus, jika memang faktanya seperti itu. Kenapa Mamah tetap ngijinin dia buat balik ke Indonesia? Ana nggak mau ya, dia kenapa-napa lagi di sini karena tertekan lagi."
"..."
"Jadi pada intinya, Ana harus awasin dia sampai Mamah juga ikutan balik. Berapa lama? Hanya beberapa hari kan Mamah ngurus semua kepindahannya."
"..."
"Aksen sering ngelamun lama? Nggak melukai diri sendiri lagi kan?"
Tut.. Tut..
Sambungan terputus saat itu juga. Ana sedikit mengerang. Kenapa baterainya harus habis, di saat dirinya sedang berada pada saat genting. Ana melempar ponselnya begitu saja, tanpa ingin mengisi dayanya.
Ana keluar dari ruangannya, dan pergi menuju Kamar Aksen yang memang bersebelahan dengannya. Ada Aksen yang duduk diatas ranjang, dengan melipat kedua tangannya di atas lutut. Hatinya sedikit mencelos, Aksen bahkan terlihat tak bergeming saat itu. Dan entah kenapa hati Ana terasa sakit kembali.
"Hei Abang, lagi ngapain? Kok diem mulu sih." tanya Ana yang memang ingin mencegah keheningan.
Aksen yang mendengar suara seseorang, langsung menoleh cepat. Dan mendapati Ana yang sudah duduk rapi di depannya. Sejak kapan Adiknya berada di sini? Tentu saja dirinya berkecamuk di antara banyak pikirannya.
"Lho sejak kapan Ana ada di sini? Abang nggak pernah lihat kamu masuk." jujur Aksen langsung.
Ternyata benar, Aksen bisa merenung berkepanjangan tanpa alasan yang jelas. Dengan sedikit tersenyum, Ana mulai melipat kedua tangannya menjadi bersedekap. Kemudian memikirkan hal yang dapat membuat Aksen jauh dari kata-kata yang memang harus dijauhinya.
"Mau jalan-jalan, Ana punya banyak referensi tempat-tempat yang enak dikunjungin nanti."
Aksen menggeleng pelan. "Kapan-kapan saja. Oh ya, besok Abang udah mulai kuliah di tempat Ana."
Ana yang tidak tahu apa-apa langsung melotot. Sejak kapan Abangnya mendaftar, padahal ia sama sekali tak keluar rumah.
Tentu saja Ana ingin tahu jawabannya."Kok Ana nggak tahu apa-apa sih?" tanya Ana yang sedikit kesal.
Aksen tertawa melihat raut muka Ana. Mungkin ini kali pertama setelah sekian lama mereka tak berjumpa. Dengan rasa rindu yang sungguh besar, Aksen langsung memeluk Ana dan menitikkan sedikit air mata di wajahnya.
Ana diam tak bergeming. Entah mengapa ia merasa sedikit kerapuhan dari diri Aksen yang ia sendiri tak boleh mengetahuinya. Sungguh, mengapa Aksen terlihat seperti menyembunyikan banyak sesuatu.
"Abang kenapa?" tanya Ana yang tak membalas pelukan Aksen.
"Nggak apa-apa. Berhubung Abang masih sangat lelah, Abang mau istirahat dulu ya. Kamu temenin Abang di sini ya." jawab Aksen yang kemudian melepas pelukannya, tanpa menunjukkan sedikitpun tanda, bahwa ia baru saja menangis.
Aksen merebahkan dirinya. Kemudian, ia memejamkan matanya tak butuh waktu lama. Sedetik kemudian, ia membuka satu matanya, dan menatap Ana yang masih duduk menatap ke arahnya.
"Ana nggak mau temenin Abang tidur?" tanya Aksen lagi.
Ana menggeleng pelan. "Nggak."
Tepat setelah Ana mengucap kata penolakan itu, Aksen langsung menarik tangan Ana yang kemudian menabrak dada bidangnya.
Aksen sedikit tertawa menatap ekspresi terkejut Ana. Rasa-rasanya, hari bahagianya akan dimulai pada waktu yang sedang berjalan ini. Lihat saja, Ana langsung mengerucutkan bibirnya dan mengeluarkan sumpah serapah yang memang terlalu biadap ditelinga.
"Nggak sekalian seluruh kebun binatang di sebutin?" tanya Aksen lagi.
"No! Ternyata Abang lebih ngeselin sekarang." sindir Ana langsung.
Tentu saja Aksen kembali tertawa. Ia memutuskan untuk kembali karena Ana. Jadi ia datang kesini, hanya untuk membuat Ana bahagia. Belum ada alasan lain selain Ana di sini. Berharap saja akan ada seseorang yang nantinya berlabuh dihatinya, meskipun sang adik jauh lebih utama dari prioritasnya.
"Jadi, kamu tidur temenin Abang ya. Abang nggak suka kamu nolak lagi kayak tadi." paksa Aksen lirih.
"Pemaksaan namanya." sindir Ana.
Aksen terkekeh, ketika melihat Ana yang kini ikutan berbaring di sampingnya. Bahkan tak perlu waktu lama Ana sudah terlelap dari tidurnya. Jadi sekarang, apakah Aksen yang harus menemani Ana tidur?
"Selamat tidur Ana. Mimpi yang indah. mulai saat ini, Abang yang akan jaga kamu hingga akhir hayat ini. Abang janji, akan membahagiakan kamu dengan kemampuan Abang sendiri." lirih Aksen tepat ditelinga Adiknya itu.
Setelah itu, Aksen memeluk Ana dan kemudian ikut terjun dalam mimpinya.
______
Alissha menuju loby Apertemennya dengan raut wajah lelah. Pakaiannya pun sudah kusut, dan rambutnya sangat berantakan saat ini. Ia menggeret tasnya sepanjang perjalanan. Mungkin terlihat seperti seseorang yang sangat frustasi untuk saat-saat seperti ini.
Setelah ia meninggalkan kehidupan lamanya, memang semua yang ia lakukan langsung berubah. Tetap menjadi seorang pekerja keras memang, namun obsesinya yang ingin sukses itu telah melampaui batas kemampuannya.
Pagi, ia menjadi Dosen. Sore menjadi seorang manager diusahanya sendiri yang mendirikan rumah makan. Dan malamnya, ia mempelajari setiap kekurangan yang ia punya.
Terkadang jika ia tak memiliki pekerjaan apapun, maka ia akan berpikiran yang buruk-buruk. Rasa bersalahnya untuk Ana, mungkin masih ada karena dirinya yang tak tau balas budi. Lebih dari itu, ia selalu merindukan semuanya. Kenangan-kenangan masa lalunya sungguh sangat indah, sehingga ia tak ingin melupakan semuanya dalam waktu cepat.
Alissha terkulai lemas di atas lantai. Pada saat-saat seperti ini, ingin rasanya ia menangis. Ia memegangi dadanya yang entah dari kapan merasa sesak. Lalu memukul-mukul dadanya agar aliran napasnya bisa berjalan lancar.
"Please, jangan sekarang. Aku nggak sanggup lagi." lirih Alissha pelan. Begitu pelan, mungkin jika ada yang mendengar semuanya, pasti langsung menyayat hatinya.
Alissha bangkit. Dengan sedikit sempoyongan, ia mulai berjalan pelan dan membentur pintu ketika ia sudah kehilangan keseimbangan.
Tanpa sadar, ada seseorang yang sudah menyaksikan semuanya. Dimana Alissha begitu lelah, begitu buruk, dan begitu terpuruk. Orang itu sedikit meringis, apakah Alissha selalu hidup dalam keadaan seperti itu?
Alissha meraih knop pintu. Belum saja ia membuka password pintu, ia sudah hilang kesadaran dirinya. Tentu saja orang yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya, langsung berlari menolongnya. Orang itu sangat-sangat khawatir saat ini.
"Kumohon bertahanlah. Bukan ini yang ku inginkan ketika pertama kali pertemuan kita. Kumohon, sadarlah untukku. Maaf, karena aku yang tak becus menjagamu." ucap orang itu yang meletakkan kepala Alissha diatas pahanya.
*****
1007 Kata.
Langsung saja gulir kebawah untuk chapter selanjutnya. Maaf baru update ;)
Salam dariku.
By: Vaa_morn
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed (Completed)
Teen FictionSeason 2 for S.A.D In A Life (Happy Ending) Ruang memintaku untuk menjauh dari mereka, dan waktupun memintaku untuk berubah dalam seketika. lalu, apalah dayaku ini yang hanya mengikuti permainan takdir belaka? Aku pernah bahagia, namun dalam sekejap...